Pages

  • Home
  • About
  • Blog Insight
  • Awesome Tips
  • Soliloquy
  • Book Review
  • Freebies

Dancing Rain in the Autumn

Credit: Domenico Loia on Unsplash
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amal shalih sempurna.

Awesome readers... rasanya lama sekali tidak menyapa kalian secara personal huhu... Insya Allah di dalam unggahan ini awesome writer ingin mengajak awesome readers sekalian untuk mengingat nikmat-nikmat Allah. 

Unggahan ini sekadar memper-bendahara-kan sedikit dari banyak nikmat yang telah Allah berikan. Kita terlalu mustahil untuk menghitung dan merinci segala nikmat Allah, bukan? So... semoga unggahan ini bisa menjadi wasilah dalam mensyukuri yang sederhana sehingga kita bisa benar-benar bersyukur atas segala nikmat-Nya.


Alhamdulillah atas nikmat sebagai seorang Muslim dan Allah perkenalkan pada Sunnah.

Alhamdulillah atas langit yang berawan yang dengannya dunia jadi lebih teduh.

Alhamdulillah atas hujan yang dengannya bertambahlah keberkahan.

Alhamdulillah atas nikmat kopi di pagi hari yang pahit manisnya memantik semangat.

Alhamdulillah atas nikmat transportasi publik yang dengannya berkendara jadi murah meriah. 

Alhamdulillah atas segala hal yang membuatku berdzikir kepada Allah.

Nah... awesome readers... menurut kalian nikmat sederhana apa lagi yang menarik untuk disyukuri? Kalian boleh buat daftar kalian sendiri ya awesome readers... 

Awesome writer saja ketika menuliskan daftar di atas senyum-senyum sendiri. Haha... alhamdulillah bahagia yang sederhana yah...

Bayangkan kalau kebahagiaan kita takarannya adalah harus hang out setiap hari atau setidaknya setiap akhir pekan ke Mall tertentu, ke negeri tertentu, atau harus membeli barang tertentu. Subhanallah...

Semoga kita makin tersadar akan nikmat Allah yang tiada terkira ini ya... 
Aamiin...



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustrasi media dalam praktik kehidupan kita sehari-hari. Seorang mahasiswi sedang memasukan password dan username pada akun Instagramnya.
Bagaimanapun kehidupan kita dewasa ini terlalu sulit untuk lolos dari eksistensi media. Couldry (2012) menuliskan bahwa betapapun fakirnya kehidupan kita, media tetap hadir secara simultan bahkan pada poros terkecil praktik-praktik kehidupan kita sehari-hari hingga mengekstensi konstelasi perpolitikan negeri.

Namun, kita perlu menyadari bahwa media sebagai sebuah institusi mustahil untuk bersikap adil pada apa yang mereka representasikan. Kekuatan simbolik yang media miliki pada faktanya hanya mampu berpihak pada sebagian kelompok, entah mereka pemilik modal media, aktor-aktor politik, atau bahkan persona-persona tertentu. Keadaan ini pada gilirannya menyebabkan praktik-praktik media cenderung timpang.

Couldry (2012) menuliskan terdapat empat bentuk ketimpangan media (media injustice). Ketimpangan media yang pertama terjadi ketika orang tertentu dirugikan oleh media dan tidak memiliki cara untuk menanggulanginya. Ketimpangan ini pada dasarnya dapat kita serupakan sebagaimana seseorang dapat melakukan kerusakan moral antara satu sama lain dengan ucapan mereka (O’Neill, 2002). 

Selanjutnya, ketimpangan jenis kedua yang media lakukan ialah ketimpangan dalam hal rekognisi (Honneth, 2007). Media dalam hal ini tidak memberikan rekognisi yang adil pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya bagaimana televisi nasional kita tidak memiliki porsi yang adil terhadap keberagaman adat dan budaya di negeri ini. Televisi Indonesia tak ubahnya televisi "rasa" Jakarta. Padahal menurut Couldry (2012) media sepatutnya menyediakan ruang agar kelompok-kelompok tertentu agar dapat mengaktuaisasikan diri mereka.

Ketimpangan ketiga muncul ketika seorang individu atau kelompok tertentu secara tidak langusng terhalang untuk menyuarakan gagasan mereka sebab keterbatasan mereka terhadap akses kapital simbolik media. Kapital simbolik media pada dasarnya memang tersedia secara terbatas dan tidak setara. Namun ketidaksetaraan bukan berarti langsung mengkonotasikan ketimpangan. Ketimpangan terjadi manakala ketidaksetaraan memenggal kemampuan individu atau kelompok tertentu.

Sementara itu, ketimpangan keempat yang media lakukan ialah manakala ruang wacana publik  potensial terisolasi sehingga bukan hanya invidu tertentu melainkan individu, kelompok, dan gerakan manapun terhalang dari rekognisi. Ketimpangan jenis ini pada gilirannya akan bermuara pada pertanyaan yang lebih luas terkait politik.

Pada unggahan ini sendiri awesome writer melokuskan perhatian pada jenis ketimpangan pertama. Kasus Kopi Sianida dalam hal ini menjadi menarik untuk diangkat sebagai contoh sebagaimana beberapa tahun lalu kasus ini begitu riuh akibat sorotan media.

Wayan Mirna dan kopi bersinida
Sari (2016) menuliskan kaleidoskop kasus ini di mana perjalanan kasus bermula ketika empat orang yang berteman sejak kuliah di Billy Blue College, Australia, berencana untuk bertemu di Indonesia. Mereka adalah Mirna, Jessica, Hani Boon Juwita, dan Vera. Pertemuan berlangsung pada 6 Januari 2016 lalu di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Jessica telah lebih dahulu tiba di kafe, menunggu teman-temannya di meja nomor 54 lantas memesan minuman. Kala itu, Jessica memesankan es kopi vietnam untuk Mirna. Mirna yang beberapa saat kemudian muncul menenggak kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian Mirna justru kejang lalu tak sadarkan diri. Dia diduga meninggal karena keracunan.

Jessica dan Mirna
Singkat cerita, Jessica akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini segera menyita perhatian masyarakat Indoensia. Berbagai media baik media konvensional maupun media digital ramai menyoroti kasus Kopi Sianida ini. Persidangan yang diadakan selama berjam-jam disiarkan secara nasional. Pakar-pakar dihadirkan untuk mengomentari jalannya sidang. Pakar telematika dan psikologi berkali-kali mampir menghiasi layar kaca. Media secara umum punya nada pemberitaan yang serupa yang menyiratkan bahwa Jessica memang bisa jadi dalang dibalik tewasnya Mirna.

Hal yang perlu kita kaji adalah bagaimana media dapat mempengaruhi jalannya persidangan (trial by the press). Sebagaimana media memiliki kekuatan simbolik, maka kekuatan simbolik tersebut rentan menimbulkan konstruksi persepsi yang keliru di benak kita. Media seakan mendorong kita untuk punya pendirian yang sama dengan apa yang media agendakan. Apa yang media anggap benar mendesak kita untuk berpikir dan bertindak yang sama. Padahal, kita bisa jadi butuh wacana alternatif agar mampu memahami kasus dengan lebih menyeluruh.

Kasus Kopi Sianida memang penuh misteri terbukti dari rekaman CCTV yang memang secara eksplisit tidak memperlihatkan Jessica menaruh racun pada kopi Mirna (Pratiwi, 2018). Namun demikian, dalam penelitian Siregar (2017) ditemukan 56 pemberitaan media online yang menghakimi Jessica sebagai pembunuh Mirna. Bahkan, pemberitaan tersebut menyimpulkan alasan dan motif yang dilakukakan Jessica. Siregar (2017) menyimpulkan bahwa trial by the press dalam kasus Kopi Sianida ini terjadi karena: (1) pers Libertarian,  (2) faktor politik dalam berita, (3) kepentingan ekonomi, (4) mengutamakan dan minim verifikasi, (5) partisipasi masyarakat rendah, dan (6) minimnya kualitas wartawan. Media dalam kasus ini akhirnya menciderai Jessica sebagaimana seseorang dapat melukai orang lain dengan lisan mereka, bahkan lebih dari itu. 

Jessica muncul dalam pemberitaan media.
Bercermin pada ketimpangan ini, maka Couldry (2012) membawa kita pada sebuah diskusi menarik tentang etika. Diskusi ini sekaligus menjadi penawaran normatif dari Couldry (2012). Berujung pada etika, Couldry (2012) ingin agar kita menilik kembali bagiamana media sebagai praktik; ritual; bahkan sebagai hidden injuries (luka tersembunyi) dalam kehidupan kita sehari-hari mempengaruhi kita dalam mengkonstruksi dunia sosial kita. Oleh karena itu, pada bab terakhir bukunya, Couldry (2012) ingin agar kita merenungi 'bagaimana sepatutnya kita hidup dengan bajik bersama media dan bagaimana sesungguhnya peran media dalam kehidupan kolektif kita?' 

Couldry (2012) lantas menawarkan bahwa kebajikan dalam hidup berdampingan dengan media dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni accuracy, sincerity dan care (akurasi, ketulusan, dan perhatian). Akurasi pada substansinya ialah tentang melakukan apa yang diperlukan demi mencapai kebenaran dalam pernyataan tertentu. Ketulusan merupakan kecenderungan untuk mengatakan apa yang sebenarnya kita yakini. Sedangkan, perhatian berhubungan dengan konektivitas kita yang hari ini telah berskala global. Perhatian pada esensinya adalah bagaiamana berbagai hal yang kita sematkan dalam jaringan (network) misalnya teks atau pun gambar tidak membahayakan atau menciderai orang lain.

"Teknologi membentuk ulang lansekap kehidupan emosional kita, tetapi apakah teknologi menawarkan kita kehidupan yang ingin kita tuju?" (Sherry Turkle)



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Majalah Dabiq salah satu media propaganda ISIS.

Awesome readers, bagaimana kalian memahami dunia sosial kalian? Lalu, bagaimana pengalaman kalian dalam bermedia? Apa saja yang selama ini kalian lakukan di media? Media apa sajakah yang kalian gunakan sebagai ekstensi dari banyak kebutuhan kalian? 

Kalian bingung untuk menjawab semua pertanyaan atau sebagaian dari pertanyaan di atas? Well, well, awesome readers tidak perlu panik... 

Couldry dalam salah satu bab di bukunya Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice berupaya menawarkan sebuah konsep agar kita bisa memahami pengalaman kita dengan media. Ia menuliskan tentang konsep media culture (budaya media). Couldry (2012) menuliskan bahwa konsep tersebut mengilustrasikan pemahaman kita akan dunia sosial merupakan sukumpulan praktik yang kita lakukan dengan sumber utama yang berasal dari media.

Couldry (2012) lantas menjabarkan media culture dapat  kita telaah melalui berbagai kebutuhan manusia yang membentuk cara kita berinteraksi dengan dan bertindak atas dunia. Kebutuhan manusia memiliki kekutaan besar sehingga ia mampu memandu perbandingan (Susan Buck-Morss dalam Couldry, 2012) dan Couldry (2012) menilai melalui kebutuhan manusia dirinya mampu memetakan media culture dengan lebih gamblang.

Couldry (2012) menyebutkan bahwa media culture dapat dipetakan dari beberapa kebutuhan manusia, di antaranya ialah kebutuhan ekonomi, kebutuhan etnis, kebutuhan politik, kebutuhan pengakuan (terkait dengan kebutuhan etnis dan politik namun berbeda), kebutuhan kepercayaan atau keyakinan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan rekreasi. 

'Kebutuhan' dalam hal ini menurut Couldry (2012) harus dipahami dalam arti luas. Artinya, kebutuhan tak sekadar dipahami pada koridor psikologis namun kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu spektrum yang terbuka dan luas di mana kebutuhan ini tertanam dalam budaya (Sen, 1992; 1999 dalam Couldry, 2012).

Sementara itu, dalam unggahan ini awesome writer tentu tidak akan membahas seluruh aspek kebutuhan manusia tersebut. Awesome writer akan mencoba menukil satu kebutuhan lantas mengelaborasinay semampu awesome writer.

Dari berbagai aspek kebutuhan manusia dalam memahami media culture yang Couldry (2012) tawarkan, awesome writer tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang kebutuhan politik. Couldry (2012) berujar bahwa mungkin aneh untuk memperbincangkan kebutuhan politik dalam membentuk budaya media. Ia melanjutkan bahwa toh kita tidak menonton televisi bukan karena pemerintah melarang kita untuk melakukannya. Namun demikian, politik terutama struktur dan strategi telah mempengaruhi bagaimana budaya media terbentu. Couldry (2012) menambahkan bahwa sayangnya perihal ini banyak diabaikan oleh peneliti media.

Couldry (2012) menyatakan bahwa kebutuhan politik dalam membentuk media culture dapat kita tilik dari tiga hal, yakni: (1) strategi negara atau aktor politik yang lebih digdaya untuk tujuan membangun kuasa mereka, (2) kebutuhan untuk menjangkau masyarakat yang sangat luas, dan (3) kebutuhan untuk meng-counter kemapanan yang telah ada, misalnya gearakan anti-globalisasi, anti-kapitalisme, dan yang semisal.

Berbicara tentang kebutuhan politik dan budaya media, hal menarik selanjutnya yang ingin awesome writer kaji ialah pertautan antara kebituhan politik, budaya media, dan terorisme serta secara tidak langsung akan berhubungan dengan Islam. Dalam hal ini, awesome writer akan mengambil contoh kasus ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

CNN (2019) menuliskan bahwa ISIS merupakan grup sempalan dari Al Qaeda. Pada awalnya, ISIS dibentuk dengan bertujuan untuk menciptakan negara Islam yang disebut kekhalifahan di seluruh Irak, Suriah dan sekitarnya. ISIS dikenal secara luas karena mereka tak segan membunuh lusinan orang sekaligus dan melakukan eksekusi di depan umum, penyaliban, dan tindakan lainnya. Popularitas ISIS tentu tidak datang begitu saja. Mereka tak canggung dalam memanfaatkan teknologi modern seperti media sosial. Kemampuan memanfaatkan teknologi tersbeut pada gilirannya menjadi kontributor besar dalam mendiseminasi propaganda mereka. 

Sementara itu, Nuruzzaman (2018) melaporkan bahwa ISIS merupakan metamorfosis dari Al Qaeda. ISIS mendeklarasikan organisasinya sebagai sebuah daulah pada 19 April 2007. Mereka mengumumkan terbentuknya pemerintahan dengan dipimpin Abu Umar Al-Baghdadi yang beranggotakan 10 orang kabinet. Pada April 2013, Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan perluasan ISI menjadi Islamic State of Iraq and Levant/Daulah Islamiyah Fi al-Iraq wa Sham (ISIL). Levant adalah nama lain dari Syam, gabungan Suriah dan Lebanon serta Palestina.

Dalam tulisan Nuruzzaman (2018), di Indoensia sendiri ISIS dideklarasikan pada 16 Maret 2014 di Bundaran Indonesia, Jakarta oleh beberapa orang yang tergabung dengan beberapa organisasi. Ia selanjutnya menulis bahwa sebagian besar pendukung ISIS di Indonesia memiliki 5 prinsip dasar dalam keyakinan agama mereka, yakni: jihad fi sabilillah, takfir, al wala' wal bara', tauhid, dah hakimiyah. Lima prinsip yang Nuruzzaman (2018) sebutkan ini menggelitik  awesome writer untuk membahas lebih lanjut, tapi mungkin belum mampu dituliskan dalam unggahan ini secara lengkap.

Sari (2015) dan Armandhanu (2015) menulsikan bahwa ISIS pada dasarnya banyak menyebarkan propagandanya melalaui majalah. Majalah mereka berujudul Dabiq. Sejak Juli 2014 hingga 2015, sudah 7 edisi Dabiq diterbitkan.

ISIS kemungkinan mencontoh Al-Qaidah yang juga menerbitkan majalah propaganda bernama Inspire. Pada salah satu edisinya, Inspire pernah memuat cara membuat bom dari alat-alat sederhana yang ada di dapur (Armandhanu, 2015).

Pengamat terorisme Indonesia Al Chaidar dalam (Armandhanu, 2015) menilai, selain sebagai propaganda dan ekstensi rekrutmen, majalah Dabiq juga menjadi alat untuk menyerang kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka, memurtadkan dan mengkafirkan sesama Muslim yang menentang kekerasan ISIS. Majalah ini bahkan juga telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia dan dipublikasi oleh beberapa situs jihad.

Fenomena ISIS ini pada kontinum lain mungkin dapat kita kaitkan pula pada kebutuhan keyakinan.  Namun dmeikian, apa yang ISIS lakukan jauh dari basis kebutuhan kepercayaan karena awesome writer menilai apa yang coba mereka perjuangankan tidak pernah diajarkan keyakinan manapun apalagi Islam.

Jika kita kembali pada tiga hal yang berkaitan dengan kebutuhan politik dalam membentuk budaya media serta ISIS, maka ISIS telah memasukan seluruh tiga unsur yang Couldry (2012) paparkan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tangkapan layar media social awesome writer.

Perkembangan industri dan teknologi komunikasi telah memungkinkan kita untuk melakuan beragam hal. Awesome readers membutuhkan berita? Kalian bisa menjentikkan jari dan menaikan dan menurunkan layar plastik bercahaya awesome readers untuk mendapatkannya. Berita tersebut bahkan dapat kita peroleh dengan harga yang sangat murah sekali jika dibandingkan dengan surat kabar fisik yang dijual oleh para penjaja koran.

Internet juga mengubah cara kita dalam mengakses informasi. Ketika dulu kita terdorong untuk datang ke perpustakaan, membuka-buka indeks pada katalog-katalog buku yang tersedia, lalu menelusuri setiap rak buku di perpustakaan tersebut, hari ini semua proses ini telah berubah. Kita lebih suka untuk berkunjung ke situs tertentu entah itu legal ataupun ilegal, lantas kita cukup mengarahkan kursor menuju hyperlink yang akan membuat dokumen di balik tautan tersbeut masuk dalam penyimpanan ponsel atau komputer personal kita.

Pada substansinya, internet telah mengubah hampir seluruh poros dalam kehidupan kita. Selain internet, kita tentu tak asing dengan media sosial. Media sosial menjadi entitas tersendiri bagi masyarakat hari ini terutama bagi mereka para digital native. Kita tak jarang juga menemukan media sosial telah mempengaruhi kehidupan kita sehingga membuat kita sulit untuk lepas dari entitas tersebut. Maka, tak heran jika akhirnya keadaan ini mendorong orang-orang bangkit dan melawan hegemoni media dengan melakukan diet media sosial atau detoks media digital.

Menurut Harisson (2018) masalah sosial kecanduan internet ini memang tak terelakkan, tapi bukan mustahil dipecahkan. Gerakan-gerakan kecil namun dapat berdampak cukup siginifikan telah banyak dilakukan oleh orang-orang. Sebagai contoh zona bebas ponsel ketika makan, menonaktifkan telepon genggam selama beberapa waktu, atau bahkan membeli ponsel "bodoh" agar tak memperoleh akses media sosial. Semakin banyak orang-orang sadar bahwa ponsel pintar mereka telah menyandra mereka sehingga tanpa sadar bukan mereka (pengguna) yang menjadi semakin cerdas, tetapi ponsel itu sendiri.

Fenomena di atas menurut awesome writer mengilustrasikan bagaimana media memiliki kuasa (Gramsci dalam Long dan Wall, 2013) untuk mempengaruhi hidup kita (Boudieu dalam Durham dan Kellner, 2006), terutama mereka orang-orang di baliknya yang telah menanamkan kapital besar. Pada poin ini, awesome writer ingin menegaskan bahwa media sesuangguhnya dapat membentuk kapital (Couldry, 2012) sebagaimana pihak otoriter pada konsep tradisonal negara mampu mengakumulasi kapital.

Media sosial, entah Facebook, Instagram, YouTube,  atau apapun itu yang semisal telah memanfaatkan penggunaanya sebagai suatu bentuk kapital. Kapital-kapital yang mereka akumulasi ini pada gilirannya dapat mereka gunakan terutama untuk mengukuhkan kerajaan bisnis yang telah mereka miliki saat ini. Secara matematis, coba saja kita baca berbagai artikel yang menampilkan kekayaan Mark Zukcerberg sebagai salah satu indikator bagaimana kapital yang mereka akumulasi melalui Facebook telah menyebabkannya mendulang banyak Dollar.

Tristan Harris (2016), seorang mantan Etika Desainer Google, mengibaratkan bagaimana media sosial telah menyihir lantas menjadi candu bagi kita dengan membawa konsep seorang pesulap. Pesulap memulai dengan mencari titik buta, tepi, kerentanan, dan batasan persepsi orang, sehingga mereka dapat memengaruhi apa yang dilakukan orang tanpa mereka sadari. Setelah Anda tahu cara menekan tombol pada diri orang lain, Anda dapat memainkannya seperti piano.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kompilasi tangkapan layar dari situs berita online CNN Indonesia dan Kompas terkait berita "viral".
Awesome readers, apabila istilah viral dahulunya lebih erat dengan praktik-praktik di dunia kesehatan, maka hari ini kata viral dapat digunakan dalam konteks yang sangat luas. Dewasa ini istilah viral menjadi kata yang terlalu populer dalam praktik kita bermedia. Secara lebih spesifik, istilah viral di Indonesia sendiri kerap kali digunakan dalam konteks politik dalam media online. 

Jati (2018) menuliskan bahwa viral yang semula merupakan ekspresi untuk tujuan diseminasi informasi dan peristiwa tertentu oleh warganet Indonesia kini berkembang sebagai aparatus politik. Hal ini dapat kita saksikan dari serangkaian bentuk video singkat, foto, maupun informasi yang secara masif digunakan untuk tujuan mobilisasi politis. 

Kata viral pada gilirannya dapat menyumbang efek amplifikasi yang lebih luas bagi para buzzer-buzzer politik. Dengan demikian, perpaduan "renyah" antara istilah viral dan kelihaian jentikan jari para buzzer dapat membuahkan hasil politis yang sangat menggirukan bagi para aktor politik di era internet ini.

Viral menjadi ilustrasi bagaimana media digital telah mentrasformasi kehidupan sosial dan politik kita. Couldry dalam bukunya Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice menuliskan bahwa ketika kita berbicara tentang poltik dan bagaiaman media digital mengubah tatanan kehidupan politik kita, maka kita perlu kembali menilik definisi klasik politik yang Easton ungkapkan. 

David Easton mengungkapkan bahwa politik dipandang sebagai alokasi barang, jasa, dan nilai yang otoritatif. Walaupun definisi ini menurut Couldry meruapkan definisi yang sempit, definisi Easton ini dapat kita gunakan sebagai titik awal mendiskusikan politik dan kaitannya dengan media digital. Definisi tersebut lantas mengerucutkan diskusi kita pada pandangan politik sebagai alokasi otoritatif. Artinya, politik memungkinkan aktor-aktor yang etrlibatdi dalamnya memiliki kewenangan atau kekuasaan.

Bercermin pada definisi tersebut, Couldry (2012) lantas mengajak kita untuk merenungi pendapat Sosiolog asal Prancis, Boltanski dan Thévenot yang menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi dipersatukan oleh asosiasi nilai-nilai umum sosiologi (Boltanski dan Thévenot, 2006). Oleh karena itu, setiap politik transformatif bergantung pada perubahan sebagian atau seluruh rezim yang terjadi secara aktual dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Dimensi kunci ketiga yang membentuk prasyarat politik dewasa ini ialah framing: konstruksi 'dunia' yang berpotensi diubah dalam politik (Boltanski, 2009 dalam Couldry, 2012).

Awesome readers, kita kembali pada istilah viral. Menurut Jati (2018) istilah di-viral-kan menjadi kata populer yang digunakan individu atau kelompok tertentu yang bertujuan untuk membuat linimasa media sosial menjadi ramai dengan topik tertentu. Viral, sebagai istilah populer, pada satu kontinum telah bergerak menjadi instrumen politik yang mampu menggoyang tatanan politik. Bahkan, istilah ini bisa jadi mentransformasi tatanan politik itu sendiri. Viral cenderung dikonotasikan negatif dalam poltik. Walaupun demikian, istilah ini dapat pula dinarasikan menajdi sesuatu yang positif misalnya foto viral milik Roby Sanjaya sebagai kritik terkait jalan rusak.

Jalan rusak di bawah skywalk sekitaran Matraman, Jakarta Pusat.

Viral memberikan pelajaran bagi kita bagaimana wewenang politis tidak melulu hanya dikuasai oleh pihak otoriter (pemerintah). Media digital memungkinkan demokratisasi wewenang, walaupun menurut awesome writer wewenang tersebut sifatnya semu bila tidak dilakukan secara berjaringan (networked). Bagaimanapun viralnya suatu topik yang kita ajukan, pihak otoriter punya kuasa yang lebih besar dibandingkan dengan kita. Mereka punya beragam instrumen untuk segera membungkam apa yang kita viralkan, kecuali apa yang diviralkan tadi kita lakukan secara berjaringan sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Media telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat modern. Kita seakan tidak hidup secara paripurna tanpa kehadiran media. Alhasil kita memandang dunia sebagaimana apa yang media sajikan pada kita. Namun demikian, media adalah entitas yang sejatinya mengonstruksi realita. Media hanyalah institusi yang merepresentasikan sebagian realita. Artinya, realita yang utuh secara menyeluruh mustahil disajikan secara autentik oleh media. Media pada gilirannya kerap melakukan misrepresentasi dalam menggambarkan seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu. Ini kemudian berujung pada hidden injuries (luka-luka tersembunyi) pada tubuh yang direpresentasikan secara keliru.

Miller (2002 dalam Saeed, 2007: 443) menuliskan bahwa media memiliki power (kekuasaan) untuk merepresentasikan dunia dengan cara tertentu. Media dapat menggunakan beragam cara dan bahkan saling bertentangan untuk membentuk makna tentang dunia. Dengan demikian, apa dan siapa yang sedang direpresentasikan; siapa dan apa yang secara rutin sedang ditiadakan dari gambaran media; dan bagaimana sesuatu, orang, peristiwa, hubungan  direpresentasikan menjadi perihal yang esensisal. Kita mengetahui lingkungan sosial kita sebagaimana apa yang direpresentasikan oleh media. Pengetahuan ini pada gilirannya menjadi acuan bagi kita untuk bertindak.

Gagasan Miller Miller (2002 dalam Saeed, 2007: 443) tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Couldry (2012) dalam Bab “Media and the Hidden Shaping of the Social”. Media pada substansinya memiliki kekuasaan simbolik untuk mendeskripsikan realita. Kekuasaan simbolik ini tak lain adalah gambaran-gamabaran yang media pilih untuk mengilustrasikan realita. Dengan kata lain, ada gambaran-gambaran uneven (tidak adil/ berat sebelah) yang media tampilkan dalam mengkonstruksi realita.

Media adalah institusi yang beroperasi secara ekonomi, sehingga apa yang media coba gambarkan akan sangat bergantung pada faktor ekonomi dan, tentu saja, faktor politik mereka. Kita ambil contoh, media mustahil menayangkan suatu program dengan durasi berjam-jam karena program-program media saling berkompetisi. Ini sama halnya dengan kasus apa yang ingin media angkat ke muka publik dan bagaimana kasus tersebut dibingkai sehingga sesuai dengan, katakanlah, rating. Keadaan-keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan misrecognition (kekeliruaan dalam memahami suatu realita). Ini tentu saja ketika kita hanya bergantung penuh pada apa yang media gambarkan. 

Hal ini lantas menghantarkan pada minat akademik untuk mengkaji hubungan antara representasi media minoritas dan isu-isu tentang etnis, ras, multikulturalisme, dan politik identitas (Ahmed dan Matthes, 2017: 2). Salah satu isu yang dewasa ini tetap ramai direpresentasikan oleh media adalah Islam. Islam terutama kerap muncul dalam bingkai media sejak peristiwa keji dan mengerikan 9/11. Media dan berbagai debat politik terkait Muslim dan Islam meruncing pada diskursus Orientalisme (Saeed, 2007). Sementara itu, negara Barat merasa perlu untuk mendefinisikan ulang relasi antara mereka dan negara-negara Muslim (Ibrahim, 2010).

Dalam konteks Indonesia dan fenomena-fenomena yang cukup dekat dengan awesome writer. Representasi media terhadap Muslim dan Islam telah mengendap dalam pada masayrakat Indonesia. Walaupun demikian, pernyataan ini tentu membutuhkan data lapangan lebih lanjut. Namun, setidaknya awesome writer dan beberapa kisah dari orang-orang terdekat menjadi bukti bahwa media memang memiliki kuasa untuk merepresentasikan sesuatu sesuai kehendak media. 

Awesome readers mungkin ingat kasus Rohis yang dituding menjadi sarang teroris? Pada tahun 2012, kala itu terorisme di Indonesia kembali menggeliat. Entah apa yang sedang diideologikan oleh para teroris tersebut sehingga umat Muslim lainnya terkena imbasnya. Hmmm... awesome writer sungguh tak habis pikir. Teror-teror tersebut kemudian berdampak pada ekstrakulikuler yang merekrut siswa melalui masjid-masjid sekolah, Rohis.

Salah satu infografis yang Metro TV tampilkan untuk menjelaskan Pola Rekrutmen Teroris Muda.
Rohis kala itu ramai diperbincangkan sebagai wadah rekrutmen teroris muda akibat pemberitaan yang dilakukan oleh Metro TV. Walaupun kemudian Metro TV meminta maaf karena "memang" mereka tidak menyebutkan secara tersurat bahwa ekstrakulikuler yang mereka maksud adalah Rohis, tapi dampak yang mereka timbulkan telah mengendap dalam diri masyarakat. Sebagai contoh, Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta kepada pengelola sekolah SMP maupun SMA untuk mengawasi kegiatan Rohani Islam (Rohis).

Terorisme di Indonesia memang tidak hanya satu atau dua kali terjadi. Ada daftar panjang yang akan terlalu berlebihan jika awesome writer tuliskan dalam unggahan ini. Sepanjang terorisme itu terjadi di negeri kita ini, maka sepanjang itu pula pemberitaan media terkait isu terorisme. Pemberitaan terkait terorisme ini tentu saja tak ketinggalan dengan embe-embel Islam dan Muslim. Hmm... bukan hal yang mengherankan memang karena para teroris tersebut mengatasnamakan diri mereka sebagai orang Islam. Padahal, agama manpun dan tentunya Islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan tindak terorisme.

Namun demikian, pemberitaan media dan bagaimana media merepresentasikan Islam sebagai agama teror telah menjadi sembilu bagi umat Muslim. Sebagai contoh, orang tua awesome writer sendiri merasa sangat khawatir jika awesome writer menggunakan hijab yang terlalu lebar apalagi jika bercadar. Setali tiga uang, sebelum begitu ramai masyarakat Indonesia berduyun-duyun berhijrah, celana cingkrang dan jenggot kerap kali menjadi simbol yang identik dengan teroris. Ada pula salah satu kabar menyedihkan selepas kawasan Thamrin diteror, seorang perempuan bercadar dipaksa turun dari bis karena beberapa penumpang mengatakan bahwa mereka tidak ingin satu bis dengannya. 

Hal yang menyedihkan dari kasus ini adalah ketika orang Islam sendiri akhirnya gerah dengan umat Muslim lainnya yang (tadi) menggunakan atribut yang identik dengan teroris: cadar, celana cingkrang, jenggot, dan yang semisal. Padahal, mereka hanya berusaha untuk menjadi Muslim yang taat yang sesuai dengan sunnah Nabinya shalallahu 'alaihi wa sallam.


Salah satu komentar menanggapi video yang diunggah Liputan6 berjudul 'Rahasia' Perempuan Bercadar.

Pada substansinya, media memiliki kekuasaan untuk menggambarkan bagaimana realita itu dapat dipahami. Media dalam hal ini mampu membentuk diskursus publik. Kita dapat melihat apa yang dituliskan oleh Latour (1993 dalam Couldry, 2012) bagaimana cedera tersembunyi dari kekuatan media secara sistematis mengkonstruk bagaimana dunia sosial disajikan untuk kita semua, membuat potensi 'sosial' lainnya tidak terlihat, tidak terpikirkan, tidak terwakili.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bazarova dan Yoon Hyung (2014) mengungkapkan bahwa media sosial telah membuka kemungkinan baru untuk berbagi informasi pribadi dengan jaringan online. Jutaan orang secara rutin mengungkapkan informasi pribadi di situs jejaring sosial. Dari mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi yang mendalam hingga mendokumentasikan detail kehidupan sehari-hari. 

Ini menjadi gambaran keterbukaan informasi publik yang mengaburkan batas-batas antara publisitas dan privasi. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan tentang pengungkapan diri dan kontrol informasi di media sosial. Selain itu, kondisi ini juga menjadi ilustrasi akan ritual yang termediatisi (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Ritual yang termediasi? Hmmm... awesome reader mungkin bingung bagaimana maksudnya pengungkapan diri kita di media sosial dapat dikatan sebagai ritual dan terlebih ritual yang termediatisi? 

Ritual yang termediasi yang dimaksudkan Couldry dalam hal ini bukan mengacu pada konsep ritual konvensional yang selama ini kita pahami. Ritual bukanlah ritus (praktik-praktik keagamaan tertentu) atau pun tindakan seremonial tertentu. Ritual pada konteks ini ialah tindakan tertentu kita yang memungkinkan media menjadi pusat dalam tindakan tersebut (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Sementara itu, pengungkapan diri ialah tindakan mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain (Jourard, 1971). Ini adalah tindakan yang disengaja yang biasanya dikomunikasikan melalui perilaku verbal yang menggambarkan orang, pengalamannya, dan perasaan (Chelune, 1975). Keputusan pengungkapan diri biasanya bersifat dialektis (Petronio, 2002). Pengungkapan diri pada saat yang sama menyebabkan kita seolah tarik menarik antara membuka atau menutup informasi tertentu, mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi tertentu, dan dalam hal ini ketegangan manajemen personal dan publik terjadi (Altman, 1975; Westin, 1967). 

Menurut Petronio (2002) setidaknya terdapat enam hal yang mendorong kita membagikan informasi kita kepada orang lain, yaitu untuk tujuan membangun intimasi, meringankan beban hidup, menggapai kontrol sosial, menikmati kebebasan berekspresi, untuk bersosialisasi atau berinteraksi, dan untuk memvalidasi perspektifnya. Sementara itu, Tamir dan Mitchell (2012) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri biasanya dipicu oleh kebutuhan untuk keterhubungan sosial dan penghargaan.
Ilustrasi pengungkapan diri pada laman media sosial Facebook miliki seorang remaja.

Namun demikian, pengungkapan diri perlu menjadi pertimbangan serius terutama setelah pengungkapan diri kini menjadi ritual yang termediatisi. Pengungkapan diri yang termediatisasi tak jarang  membawa risiko kerentanan dan kehilangan informasi karena penyingkapan yang berlebihan pada orang lain (Altman, 1975) terutama di media sosial.

Di sisi lain, pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga menjadi gambaran bagi kita bahwa sesuangguhnya apa yang kita ungkapkan pada media sosial kita bukanlah kita yang seutuhnya. Kita tidak mungkin mengungkapkan secara terperinci tentang diri kita di media sosial. Sementara itu, kita mengungkapkan hal yang membuat orang lain mempersepsikan diri kita sebagaimana yang kita inginkan: sebagai ornag yang pedulikah, religiuskan, humoriskan, atau yang semisal. Pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga mengilustrasikan bagaimana media berkuasa untuk menggeser konsep privasi menjadi kabur.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Bagaimanapun media telah berkembang menjadi bagian integral dalam praktik keseharian kita (Couldry, 2012). Dalam hal ini, internet dan mesin pencari (search engine) dewasa ini telah menjadi sumber dan intrumen utama dalam menggali informasi. Menurut Byung-Chul (2017) internet dengan sedemikian rupa memang telah menjadi candu bagi kita.  Dalam konteks penggunaan mesin pencari sebagai salah satu praktik media kita, kita seolah tak punya pilihan selain menggunakan mesin pencari. 

Dahulu kita terbiasa untuk menggali informasi melalui buku, surat kabar, atau melalui bantuan para pustakawan. Kini, mesin pencari (search engine) seperti Google telah mengubah praktik kita dalam mencari informasi tertentu (Bódogh, 2011). Ini sebagaimana Matthew Hindman (2009) ungkapkan bahwa kita dapat menemukan informasi yang kita inginkan melalui dua cara, yaitu dengan menelusuri kembali situs yang sebelumnya pernah kita tahu atau melalui mesin pencari. 

Sementara, perlu kita pahami awesome readers bahwa tanpa sadar kita telah keliru. Mesin pencari yang memungkinkan kita menemukan hampir segala hal telah membuat kita beranggapan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak teridentifikasi (Bódogh, 2011). Lantas, kita terus menerus mencari dan mencari tanpa peduli bahwa selama ini search queries (permitaan pencarian) kita telah diarsipkan dan dimonetisasi (Bódogh, 2011; Byung-Chul, 2017).

Byung-Chul (2017) memandang keadaan ini sebagai ambivalensi dari konsep kebebasan. Ia kemudian menuliskan bahwa internet sejatinya menghantarkan kita pada penjajahan model baru. Kita dengan suka rela menyerahkan data-data pribadi kita bahkan tanpa berpikir panjang. Data-data tersebut pada gilirannya menjadi kapital bagi korporasi-korporasi raksasa atau setidaknya mengkuantifikasi kita sebagai konsumen iklan-iklan yang ter-costomised. 

Di sisi lain, mesin pencari sebagai praktik media kita menghantarkan kita pada problema tentang privasi. Sebelum membahas privasi dalam praktik media kita dengan lebih lanjut, maka pertama-tama kita telaah terlebih dahulu data apa saja yang selama ini disimpan dan diarsipkan mesin pencari. Bódogh (2011) menuliskan bahwa log pencarian berisi data seperti alamat Protokol Internet (IP) dari perangkat pengguna, jenis dan bahasa browser (penjelajah) yang digunakan, tanggal dan waktu permintaan, ID cookie yang diatur dalam penjelajah pengguna serta pencarian permintaan itu sendiri.

Data-data tersebut memang tidak secara langsung membuat seorang pengguna dapat teridentifikasi. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa perusahaan-perusahaan pengelola mesin pencari semisal Google ini tidak menyediakan layanan secara cuma-cuma. Mereka kan bukan yayasan amal.  Mereka bekerja untuk memperoleh profit. Walaupun seolah mereka bukan mencari keuntungan melalui kita, penggunanya, mereka pada dasarnya bekerjasama dengan pihak lain yang mampu mendatangkan nilai ekonomi, pengiklan.

Dengan demikian, pengelola mesin pencari menyediakan ruang bagi pengiklan. Mereka menyediakan tautan agar dapat diklik dan mendatangkan pendapatan. Dalam praktik ini, pengelola mesin pencari menggunakan data kita agar pengiklan dapat menembakkan iklannya pada ceruk pasar yang tepat (Bódogh, 2011).  Fenomena ini kemudian menjadi ilustrasi dari gagasan Couldry (2012) bahwa faktor ekonomi (dan politik) menjadi faktor yang prominen dalam melengkapi pemahaman kita terhadap media.

Pada substansinya, media telah menjadi bagian yang hari ini, dapat kita katakan, tidak terpisahkan. Sebagaimana yang awesome writer bawakan, mencari informasi melalui mesin pencari smeisal Google menjadi hal yang sangat kita gandrungi. Kegiatan ini praktis dan efisien. Sementara kita tak sadar bahwa praktik-praktik kita rupanya telah menjadi data ekonomis bagi para pengelola mesin pencari. Dengan demikian, praktik-praktik medi akita ini pada gilirannya menimbulkan banyak ketegangan dan kerumitan yang perlu kita atasi, yah setidaknya dengan membekali diri dengan seperangkat pengetahuan semisal literasi digital.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustrasi konsep order (tatanan). Tumpukan atau tatanan batu bata pada pagar suatu gedung.
Awesome readers, sulit untuk kita pungkiri bahwa media sosial telah banyak mengubah tatanan kehidupan sosial kita. Pada konteks ini, tatanan politik juga tak luput terkena dampaknya. Media sosial telah memungkinkan mobilisasi politik jangka pendek dan sekaligus mengintensifkan dinamika dan skandal yang ada di dalam perpolitikan itu sendiri (Couldry dan Hepp, 2017). Walaupun demikian, kesimpulan ini tidak cukup memadai untuk memahami bagaiamana penetrasi media yang mendalam ini telah mempengaruhi tatanan kehidupan sosial kita terutama dalam aspek politik.

Sementara itu, pada tulisan ini awesome writer ingin mencoba menjelaskan fenomena buzzer sebagai ilustrasi perubahan tatanan sosial kita dalam aspek politik. Apabila komunikasi yang dipersonalisasi dalam kancah perpolitikan era media digital dianggap sebagai wawasan yang sia-sia, Nielsen (2012) menganggap hal ini keliru. Nielsen (2012) memandang bahwa komunikasi atau kampanye secara personal masih relevan untuk dilakukan. Dalam kasus ini kampanye dapat melibatkan sekumpulan orang misalnya relawan, pekerja paruh waktu atau bahkan orang-orang bayaran. Orang-orang bayaran dalam gagasan Nielsen (2012) tersebut menurut awesome writer dapat kita bahasakan dengan istilah buzzer.

Buzzer (pendengung atau pelaku buzz) sebenarnya berkaitan erat dengan dunia marketing (pemasaran). Emanuel Rosen dalam O'Leary (2008: 22) menyatakan bahwa buzz merupakan muara dari word of mouth. Word of Mouth, seringkali disingkat sebagai WOM, merujuk pada komunikasi orang-ke-orang antara komunikator dan penerima yang menganggap pesan yang disampaikan sebagai informasi non-komersial. Subjek pesan ini dapat berupa merek, produk, atau layanan (Arndt, 1967; Luarn, Huang, Chiu, dan Chen, 2016). Kembali merujuk pada gagasan Rosen dalam O'Leary dan Sheehan (2008: 22), ia mendefinisikan buzz sebagai sejumlah komentar tentang produk atau perusahaan tertentu pada titik waktu tertentu. Gagasan Rosen ini menitik beratkan pada ‘komentar’ sebagai gagasan, pesan, atau opini yang disampaikan dari satu orang kepada orang lain (O'Leary dan Sheehan, 2008: 22).

Dewasa ini istilah buzzer telah bergeser dan begitu berkaitan erat dengan kontestasi politik terutama di Indonesia. Buzzer pada esensinya tetap berfungsi sebagai pendengung untuk melancarkan program pemasaran. Namun dalam konteks politik, buzzer dapat berguna untuk mendongkrak elektabilitas tokoh atau partai tertentu. Pada praktiknya, buzzer-buzzer politik biasanya berkicau dengan menggunakan tagar unik dan/ atau memanfaatkan jaringan dan aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp dan Telegram untuk menyebarkan konten.

Ilustrasi konsep order (tatanan). Tatanan kursi untuk mengilustrasikan perebutan kursi politis.
Buzzer politik mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012. Sehingga buzzer dan kontestasi politik di Indonesia bukanlah hal yang asing lagi. Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh CPIG (2017) buzzer memiliki kekuatan untuk mengamplifikasikan pesan. Kekuatan mereka ini dianggap mampu mendiseminasi isu-isu politik dengan cepat. Dengan demikian, bukan hal yang mengherankan jika keberadaan industri buzzer bersemi bagai jamur di musim hujan.

Buzzer yang telah bertransformasi menjadi industri tak jarang menggelontorkan berbagai hoaks demi melancarkan aksi mereka. Lebih dari pada itu, warganet cenderung menyukai dan menerima konten yang sesuai dengan ideologi mereka. Sehingga, hal ini berimplikasi pada filter bubble (algoritma) yang ada di media sosial mereka untuk ikut serta mensukseskan kinerja para buzzer (Pariser, 2011). Keadaan ini pada gilirannya dikenal dengan istilah echo chamber. Alhasil, warga yang telah tumpul logikanya akibat fanatisme buta makin terjerembab pada aksi dan pemikiran politik yang dangkal.

Buzzer seakan tak mungkin lepas dari para aktor politik di negeri ini. Strategi kampanye politik menggunakan jasa buzzer ini seakan punya efek adiktif. Dengan demikian, bukan hal yang mengejutkan jika buzzer akhirnya dinilai memiliki prospek karir yang semakin cerah.

Keberadaan industri buzzer yang akhirnya melahirkan banyak diskursus. Sebagian menyatakan bahwa fenomena industri buzzer menjadi paradoks akan cita-cita pemerintah yang hendak memerangi hoaks. Sebagian menyarankan agar keberadaan mereka tersebut segera ditertibkan dalam regulasi yang pasti.

Secara substansial, fenomena buzzer dan bagaiamana hal ini telah mengubah tatanan politik di negeri ini, mengilustrasikan bahwa konstelasi politik dan pemerintahan kita telah begitu bergantung pada infrastruktur media. Demi mendongkrak elektabilitas diri dan/ atau partainya, melibatkan infrastruktur media adalah hal mustahil dilewatkan. Buzzer melalui kicauan dan pesan-pesan sensasional mereka seakan mampu menyentuh afiliasi politik dalam lingkung yang personal.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus.
Hi there awesome readers... tulisan ini merupakan follow up dari komentar-komentar yang sebelumnya menanggapi unggahan "Collectivity in the Deep Mediatized World".  Semua komentar yang masuk merupakan koemntar-komentar yang positif dan membangun. Komentar-komentar yang membuat awesome writer jadi semangat untuk terus dapat berbagi tulisan. Semoga selalu diberi taufik untuk berbagi tulisan yang bermanfaat, aamiin...

Dari komentar-komentar yang telah masuk, awesome writer menemukan berbagai komentar yang bertanya lebih lanjut tentang konsep-konsep lain dari konsep kolektivitas itu sendiri. Komentar-komentar tersebut terutama ingin memahami lebih lanjut bagaiamana kolektivitas inklusi numerik dan imagined communities (kolektivitas imajiner). Menurut awesome writer ini muncul karena di akhir tulisan awesome writer memang sempat menyinggung dua konsep tersebut sebagai spektrum lain dari konsep kolektivitas yang digagas oleh Couldry dan Hepp. Dengan demikian, awesome writer ingin membahas dua konsep tersebut dalam tulisan kali ini.

 Kolektivitas Inklusi Numerik 
Menurut Passoth, Sutter dan Wehner (2014 dalam Hepp dan Krotz 2014) relasi antara penyedia konten, khalayak, dan produksi kultural lainnya dewasa ini telah berubah. Para khalayak ini telah terkonsentrasi melalui kalkulasi numerik. Kita menjadi kerumunan yang terhimpun akibat adanya perhitungan statistik. 

Apa yang menjadi kesukaan kita pada paltform tertentu, kita sebut saja misalnya piihan genre suara yang kita dengar melalui Soundcloud, menyebabkan kita menjadi bagian dari kolektivitas berdasarkan kesukaan tersebut. Kita tergabung dalam deretan orang-orang yang bahkan tidak kita kenal hanya karena kita berada pada lingkup kesukaan genre yang sama. Selain itu, tak jarang berbagai pilihan suara yang telah kita sukai atau yang kita ikuti menyebabkan rekomendasi-rekomendasi suara-suara lain yang semisal muncul pada laman Soundcloud kita.

Penampakan beranda Soundcloud awesome writer dan beberapa daftar suara murottal (bacaan Al Qur'an) lainnya yang direkomendasikan Soundcloud.
Apa yang kita sukai dan apa yang kita ikuti tersebut menjadi jejak digital kita yang kemudian diarsipkan oleh misalnya Soundcloud. Berdasarkan jejak-jejak digital yang kita tinggalkan ini kerumunan khalayak dengan karakteristik tertentu terus diproduksi. Akumulasi ini pada akhirnya menjadi instrumen bagi industri periklanan untuk menuai laba dari khalayak yang customised (telah disesuaikan/ dikhususkan) (Couldry dan Hepp, 2017).  

Namun sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kita yang dikerumunkan melalui perhitungan angka statistik ini bahkan tidak saling mengenal dengan individu lainnya. Sehingga, Couldry dan Hepp (2017) memasukan kolektivitas inklusi numerik ini dalam sub bab Kolektivitas tanpa Komunitisasi. Mengapa dapat disebut demikian? Karena konsep komunitisasi mensyaratkan adanya bentuk kolektivitas yang fixed (tetap) misalnya seperti kolektivitas RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga) tertentu. Mereka dalam hal ini memiliki shared meaningful yang terbentuk melalui proses yang panjang. Sementara, kolektivitas inklusi numerik ini sekadar menghimpun individu-individu berdasarkan kesamaan rasa dan selera terhadap sesuatu hal tanpa memperjuangkan proses pembentukan makna yang panjang di antara aktor-aktornya.

 Imagined Communities (Kolektivitas Imajiner) 
Istilah imagined communities sendiri pada asalnya merupakan gagasan yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Pada esensinya, Anderson ingin mengungkapkan bahwa kolektivitas dapat terbentuk bukan semata-mata karen akita berada pada lingkungan fisik yang sama. Bahkan kita yang jauh secara geografis pun mampu menjadi bagian dari kolektivitas tertentu, misalnya kebangsaan tertentu, afiliasi politik tertentu, dan agama tertentu.

Kalau meminjam contoh dari Mba Titut, dosen kami pengampu Mata Kuliah Media Digital dan Konstruksi Realita, yaitu orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri orang. Beliau saat itu menyebutkan bahwa ada ada orang-orang Indonesia di luar sana yang melanggan koran Kompas demi dapat merasakan "bahwa aku orang Indoensia", di mana secara fisis diri mereka memang tidak berada di Indonesia, tetapi melanggan koran Kompas ini menjadi simbol kebangsaan mereka (national we).  Mba Titut kemudian juga menambahkan contoh tentang dirinya sendiri ketika dahulu mejadi mahasiswa di Australia. Mba Titut bercerita ketika ia suatu saat memilih untuk makan di satu rumah makan Padang yang pada dasarnya "...rasa masakannya ga enak, tapi karena di sana banyak orang Indonesia..." akhirnya menyebabkan Mba Titut rela menyambangi rumah makan tersebut ketika rinduya pada kampung halaman membuncah.

Sebagai contoh yang lain dari kolektivitas imajiner ini adalah perasaan kita terhadap orang lain karena basis agama yang sama. Awesome writer dan mungkin awesome readers pernah merasakan hal yang sama ketika melihat saudara-saudara kita di belahan bumi yang lain ini ditindas. Kita sebut saja muslimin di Palestina, Suriah, Yaman, Uyghur, Rohingya, Mali dan yang semisal. Kita pada dasarnya bukan bagian dari kebangsaan mereka, namun pada satu titik, karena kita memeluk agama yang sama, karena kita memiliki rasa kemanusiaan yang sama, akhirnya memunculkan perasaan ikut tertindas. Kita merasa menjadi satu tubuh dengan saudara-saudara kita tersebut. 
Tangkapan layar dari akun Instagram Actforhumanity (Aksi Cepat Tanggap). Seorang anak dari Palestina yang memgang foto ayahnya, seorang jurnalis, yang telah tewas ditembak oleh Zionis.
Pada substansinya, kolektivitas inklusi numerik dan kolektivitas imajiner merupakan konsep-konsep kolektivitas yang coba ditawarkan oleh Couldry dan Hepp (2017). Dua konsep ini mengilustrasikan bagaiamana kolektivitas kita hari ini tidak cukup memadai jika sekadar dipahami sebagai komunitisasi yang tetap (terbentuk karena shared meaningful dari berbagai aktor yang terlibat di dalamnya). Penawaran berbagai spektrum kolektivitas ini juga menjadi ilustrasi bagaiamana media memainkan peran dalam membentuk dan mengintesifkan figurasi-figurasi (interdependensi antara berbagai aktor atau individu) dalam dunia sosial kita (Elias, 1991).
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ilustrasi kolektivitas, para pengendara ojek online yang sedang rehat di bawah jembatan penyebrangan.
Media dan teknologi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Bagaimana kita memaknai diri kita dan orang lain; ruang; waktu; dan bahkan bagaimana kita memaknai kumpulan dari setiap individu (kolektivitas) juga tak pernah sama lagi. Mediatisasi yang mendalam telah mengubah konsepsi kolektivitas. Jika dahulu kita menganggap kolektivitas sebagai kumpulan individu-individu, kerumunan orang, masyarakat, atau komunitas tertentu, maka digitalisasi telah memaksa kita untuk menganalisis konsep kolektivitas dengan lebih rinci (Couldry dan Hepp, 2017). 

Lantas, apa sebenarnya konsep kolektivitas itu ya awesome readers? Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas merupakan suatu figurasi dari individu-individu yang saling berbagi afiliasi dengan penuh makna di mana afiliasi ini kemudian menjadi basis orientasi dan aksi yang mutual. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kolektivitas merupakan jalinan dari satu individu dengan individu lainnya di mana di dalam jalinan tersbeut individu-individu tersebut saling berbagi makna. Jalinan individu dan makna yang mereka bagi bersama itu lantas dapat menjadi dasar dalam mereka berperilaku.

Couldry dan Hepp dalam buku mereka The Mediated Construction of Reality melanjutkan bahwa pembentukan afiliasi penuh makna ini dapat mewujud dalam beragam rupa. Afiliasi ini dapat terbentuk melalui perasaan “kita bersama” sebagaimana terejawantahkan dalam komunikasi tradisional tatap muka (Knoblauch, 2008 dalam Couldry dan Hepp, 2017). Afiliasi ini dapat pula terbentuk melalui situasi yang terorganisasi bersama semisal smart mobs (Rheingold, 2003). Kolektivitas melalui inklusi numerik juga dapat menjadi manifestasi lain dari pembentukan afiliasi ini (Passoth, dkk., 2014). 

Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus.
Dalam menjelaskan konsep kolektivitas, Couldry dan Hepp (2017) lantas membawakan istilah ‘communitization’ (Vergemeinschaftung) milik Weber. Istilah ini pada esensinya merupakan istilah yang menggambarkan perasaan subjektif (perasaan saling memiliki di antara mereka yang saling terlibat) (Hepp, 2015). Couldry dan Hepp (2017) kemudian menawarkan beberpa spektrum pengetahuan dalam memahami kolektivitas di era mediatisasi yang mendalam.

Salah satu spektrum yang merek atawarkan adalah dengan menelisik "bagaiamana kolektivitas tersebut terbentuk dalam kelompok." Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas di era mediatisasi dapat terbentuk melalui dua cara, yakni melalui media-based collectivity (kolektivitas berbasis media) dan mediatized collectivity (kolektivitas yang difasilitasi media). 

Media-based collectivity merupakan kolektivitas dimana media bersifat konstitutif. Dengan kata lain, kolektivitas tersebut tak dapat terbentuk kecuali dengan eksistensi media. Media dalam hal ini telah ada terlebih dahulu sebelum suatu kolektivitas terbentuk. Kolektivitas selanjutnya terbentuk setelah media menyediakan konten dan/ atau ruang.

Sebagai contoh, media-based collectivity adalah Google Local Guide salah satu fitur di dalam Google Maps. Google Local Guide merupakan platform yang menyediakan ruang bagi para pengguna Google Maps untuk dapat berkontribusi sebagai relawan atau kontributor. Mereka yang tergabung dan berkontribusi pada platform ini pada gilirannya terbentuk sebagai suatu komunitas. Para kontributor biasanya menulis beragam ulasan, menngunggah foto dan video, menambahkan atau menyunting tempat tertentu, bahkan mereka dapat saling tanya jawab tentang sutau tempat. 

Akun Google Local Guide milik awesome writer.
Google Local Guide memungkinkan suatu komunitas terbentuk karena konten yang tersedia pada platform Google Maps. Mereka ini tidak mungkin akan mewujud kecuali dengan keberadaan fasilitas Google Maps. Google telah banyak berupaya agar kolektivitas di salah satu platform-nya ini terus dapat digunakan oleh warganet. Google sering kali tak segan untuk memberikan penghargaan semisal voucher belanja, hotel, atau bahkan mengundang para local guide untuk ikut dalam event-event besar Google Maps.

Salah satu voucher yang pernah awesome writer dapatkan karena berkontribusi dalam Google Local Guide.

Salah satu undangan yang pernah awesome writer dapatkan karena telah menduduki peringkat atau level tertentu sebagai local guide.
Pada satu titik, jika kita berbincang tentang Google Local Guide dan platform lain yang semisal, maka para kontributor Google Local Guide ini seperti mengilustrasikan online worker yang bekerja "secara cuma-cuma". Walaupun memang kita diberi penghargaan, tapi penghargaan yang diberikan Google tidaklah sebanding dengan keuntungan yang Google dapatkan dari berbagai kontribusi yang kita lakukan. Dengan kata lain, menurut awesome writer kita semisal mendermakan bantuan untuk membangun empire bisnis Google.

Nah sekarang kita bergeser ya... pada spektrum lainya, yaitu mediatized collectivity, media tidaklah bersifat kontitutif. Artinya, kolektivitas telah ada sebelum media ada. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kolektivitas terpelihara melalui keberadaan media (Couldry dan Hepp, 2017). Dalam konteks mediatized collectivity yang Indonesia banget dapat kita contohkan dengan menjamurnya grup Whatsapp keluarga. Awesome writer akan mengambil contoh dari salah satu teman awesome writer di kampus, kita sebut saja dia Eden. 

Eden sedang membuka salah satu grup Whatspp keluarganya.
Eden adalah seorang mahasiswi yang merantau jauh dari sebrang Pulau Jawa. Eden menuturkan bahwa ia dan keluarganya terikat dalam grup Whatsapp keluarga demi menjaga kerekatan di antara mereka.

Eden berujar pada awesome writer bahwa keluarganya sebenarnya memiliki dua grup Whatsapp, yaitu "The Moehadjir" dan "Mangun". The Moehadjir merupakan grup dari keluarga besar ayahnya. Sementara, Mangun adalah grup dari pihak ibunya dan terdiri dari kolektivitas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan  The Moehadjir. 

The Moehadjir, salah satu grup Whatspp keluarga milik Eden.
Menurut Eden, keluarganya merupakan keluarga yang sangat kolektif. Dalam hal ini, kedua grup tersebut menjadi media yang dapat mempererat tali silahturahim dan kolektifitas di antara anggota-anggota keluarganya. Ia mengatakan bahwa anggota keluarganya banyak terpencar di berbagai daerah, sehingga keberadaan grup tersebut sangat membantu merekatkan kedetakan di antara mereka. Selain itu, grup tersebut juga dapat menjadi media koordinasi jika ada di antara mereka yang hendak mengunjungi kerabat mereka yang akan menikah (baca: kondangan).

Grup whatsapp keluarga milik Eden ini mengilustrasikan bagaimana kolektivitas dirawat atau terpupuk (fostered) melalui keberadaan media. Grup keluarga Eden ini juga menjadi gambaran tentang identitas kelompok yang sama dan terdistribusi dari kolektivisme berjaringan sebagaimana yang disebut oleh Nancy Baym (2015). 

Pada esensinya, kolektivitas di era mediatisasi seperti sekarang ini tidak cukup dipandang sebagai suatu konsep yang mewakili kumpulan individu-individu, kerumunan orang, atau sekadar masyarakat tertentu di daerah tertentu. Di luar dari dua contoh yang telah awesome writer tuliskan, Couldry dan Hepp bahkan banyak memberikan contoh lain bagaimana kolektivitas dewasa ini tidak sepatutnya dipandang dalam cara sesederhana itu. Kita sebut saja imagined communities dan koletivitas inklusi numerik yang akan menghantarkan kita pada spektrum lain dari konsep kolektivitas.

Dengan demikian, ada banyak faktor yang patut kita pertimbangkan dalam melabeli suatu kerumunan sebagai kolektivitas tertentu atau bukan, misalnya saja kerangka relevansi (sebagaimana yang mendasari media-based collectivity) atau  konteks tertentu lainnya yang mendasari suatu kolektivitas dapat terbentuk. Sebagai tambahan, kita juga harus memperhatikan bagaimana dengan kolektivitas-kolektivitas yang sejatinya mungkin saja bukan bentuk komunitisasi (comunitization).
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About

Hi there!
I am Esy Andriyani
This is my personal blog. I endeavor to assemble miscellaneous notions and observations as a mere human being. Well, feel free! Serve yourself...

Featured Post

5 Tips Awesome Sebelum Membeli Buku

Labels

  • Awesome Tips (2)
  • Blog Insight (15)
  • Book Review (6)
  • Digital Media & Social Construction (13)
  • Freebies (2)
  • Miscellaneous (6)
  • Soliloquy (7)

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2021 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2020 (14)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (3)
  • ▼  2019 (14)
    • ▼  December (1)
      • Bahagia yang Sederhana
    • ►  May (4)
      • Media Injustice (Ketimpangan Media)
      • Media Culture for Political Needs and Terrorism
      • Kapital dan Candu Media Sosial
      • Viral dan Network Society
    • ►  April (5)
      • Media Power and Misrepresentation of Islam
      • Self Disclosure: Mediatized Rituals
      • Privasi dan Praktik Media Kita
      • Buzzer: Pergeseran Tatanan Politis Indonesia
      • Kolektivitas tanpa Komunitisasi dan Kolektivitas I...
    • ►  March (3)
      • Collectivity in the Deep Mediatized World
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (9)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (6)
    • ►  December (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2016 (5)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)

Bloom Beautifully

Popular Posts

  • Al Baqarah 152-157
  • Tidak Akan Pernah Kenyang dari Al Qur'an
  • Watermelon, Carrot, Parsley Juice
  • About
  • Alhamdulillah: Me vs Supir Taksi

Free Quran Wallpapers

Awesome Sites

  • Kisah Muslim
    Abul Hakam Rafi’ bin Sinan Radhiallahu ‘Anhu dan Bayinya - Abul Hakam Rafi’ bin Sinan adalah salah seorang sahabat Anshar yang berasal dari kabilah Aus. Ia termasuk salah seorang sahabat ... SelengkapnyaAbul Hakam...
    3 months ago
  • Muslim.Or.Id
    Hukum Puasa Syawal di Hari Jumat Saja - Sebagaimana kita ketahui, terdapat hadits yang melarang kita mengkhususkan puasa sunah di hari Jumat. Bagaimana jika seseorang puasa sunah di bulan Syawa...
    9 hours ago
  • Muslimah.Or.Id
    Alasan Pelaku Maksiat: Saya Belum Dapat Hidayah! - Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin Soal: Seorang pelaku maksiat, ketika diajak kepada kebenaran ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah belum menak...
    1 day ago
  • Qur'anic Reflections
    A Fulfilment - الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات By the grace and favour of Allāh upon me, I’ve successfully completed my Master’s Degree in ʿUlūm al-Qurʾān and Tafsīr....
    1 year ago
  • Radio Rodja
    Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat - Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-B...
    2 days ago
  • Rumaysho
    Bolehkah Puasa Syawal, Tetapi Masih Memiliki Utang Puasa Ramadhan Karena Haidh? - Rumaysho.Com - Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Ini masalah yang sering ditanyakan, apakah boleh puasa Syawal sedangkan masih memiliki utang puasa Ramad...
    1 week ago

Total Pageviews

Awesome Readers

Contact Form

Name

Email *

Message *

Created with by ThemeXpose