Pages

  • Home
  • About
  • Blog Insight
  • Awesome Tips
  • Soliloquy
  • Book Review
  • Freebies

Dancing Rain in the Autumn


Ilustrasi kolektivitas, para pengendara ojek online yang sedang rehat di bawah jembatan penyebrangan.
Media dan teknologi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita. Bagaimana kita memaknai diri kita dan orang lain; ruang; waktu; dan bahkan bagaimana kita memaknai kumpulan dari setiap individu (kolektivitas) juga tak pernah sama lagi. Mediatisasi yang mendalam telah mengubah konsepsi kolektivitas. Jika dahulu kita menganggap kolektivitas sebagai kumpulan individu-individu, kerumunan orang, masyarakat, atau komunitas tertentu, maka digitalisasi telah memaksa kita untuk menganalisis konsep kolektivitas dengan lebih rinci (Couldry dan Hepp, 2017). 

Lantas, apa sebenarnya konsep kolektivitas itu ya awesome readers? Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas merupakan suatu figurasi dari individu-individu yang saling berbagi afiliasi dengan penuh makna di mana afiliasi ini kemudian menjadi basis orientasi dan aksi yang mutual. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kolektivitas merupakan jalinan dari satu individu dengan individu lainnya di mana di dalam jalinan tersbeut individu-individu tersebut saling berbagi makna. Jalinan individu dan makna yang mereka bagi bersama itu lantas dapat menjadi dasar dalam mereka berperilaku.

Couldry dan Hepp dalam buku mereka The Mediated Construction of Reality melanjutkan bahwa pembentukan afiliasi penuh makna ini dapat mewujud dalam beragam rupa. Afiliasi ini dapat terbentuk melalui perasaan “kita bersama” sebagaimana terejawantahkan dalam komunikasi tradisional tatap muka (Knoblauch, 2008 dalam Couldry dan Hepp, 2017). Afiliasi ini dapat pula terbentuk melalui situasi yang terorganisasi bersama semisal smart mobs (Rheingold, 2003). Kolektivitas melalui inklusi numerik juga dapat menjadi manifestasi lain dari pembentukan afiliasi ini (Passoth, dkk., 2014). 

Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus.
Dalam menjelaskan konsep kolektivitas, Couldry dan Hepp (2017) lantas membawakan istilah ‘communitization’ (Vergemeinschaftung) milik Weber. Istilah ini pada esensinya merupakan istilah yang menggambarkan perasaan subjektif (perasaan saling memiliki di antara mereka yang saling terlibat) (Hepp, 2015). Couldry dan Hepp (2017) kemudian menawarkan beberpa spektrum pengetahuan dalam memahami kolektivitas di era mediatisasi yang mendalam.

Salah satu spektrum yang merek atawarkan adalah dengan menelisik "bagaiamana kolektivitas tersebut terbentuk dalam kelompok." Menurut Couldry dan Hepp (2017) kolektivitas di era mediatisasi dapat terbentuk melalui dua cara, yakni melalui media-based collectivity (kolektivitas berbasis media) dan mediatized collectivity (kolektivitas yang difasilitasi media). 

Media-based collectivity merupakan kolektivitas dimana media bersifat konstitutif. Dengan kata lain, kolektivitas tersebut tak dapat terbentuk kecuali dengan eksistensi media. Media dalam hal ini telah ada terlebih dahulu sebelum suatu kolektivitas terbentuk. Kolektivitas selanjutnya terbentuk setelah media menyediakan konten dan/ atau ruang.

Sebagai contoh, media-based collectivity adalah Google Local Guide salah satu fitur di dalam Google Maps. Google Local Guide merupakan platform yang menyediakan ruang bagi para pengguna Google Maps untuk dapat berkontribusi sebagai relawan atau kontributor. Mereka yang tergabung dan berkontribusi pada platform ini pada gilirannya terbentuk sebagai suatu komunitas. Para kontributor biasanya menulis beragam ulasan, menngunggah foto dan video, menambahkan atau menyunting tempat tertentu, bahkan mereka dapat saling tanya jawab tentang sutau tempat. 

Akun Google Local Guide milik awesome writer.
Google Local Guide memungkinkan suatu komunitas terbentuk karena konten yang tersedia pada platform Google Maps. Mereka ini tidak mungkin akan mewujud kecuali dengan keberadaan fasilitas Google Maps. Google telah banyak berupaya agar kolektivitas di salah satu platform-nya ini terus dapat digunakan oleh warganet. Google sering kali tak segan untuk memberikan penghargaan semisal voucher belanja, hotel, atau bahkan mengundang para local guide untuk ikut dalam event-event besar Google Maps.

Salah satu voucher yang pernah awesome writer dapatkan karena berkontribusi dalam Google Local Guide.

Salah satu undangan yang pernah awesome writer dapatkan karena telah menduduki peringkat atau level tertentu sebagai local guide.
Pada satu titik, jika kita berbincang tentang Google Local Guide dan platform lain yang semisal, maka para kontributor Google Local Guide ini seperti mengilustrasikan online worker yang bekerja "secara cuma-cuma". Walaupun memang kita diberi penghargaan, tapi penghargaan yang diberikan Google tidaklah sebanding dengan keuntungan yang Google dapatkan dari berbagai kontribusi yang kita lakukan. Dengan kata lain, menurut awesome writer kita semisal mendermakan bantuan untuk membangun empire bisnis Google.

Nah sekarang kita bergeser ya... pada spektrum lainya, yaitu mediatized collectivity, media tidaklah bersifat kontitutif. Artinya, kolektivitas telah ada sebelum media ada. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kolektivitas terpelihara melalui keberadaan media (Couldry dan Hepp, 2017). Dalam konteks mediatized collectivity yang Indonesia banget dapat kita contohkan dengan menjamurnya grup Whatsapp keluarga. Awesome writer akan mengambil contoh dari salah satu teman awesome writer di kampus, kita sebut saja dia Eden. 

Eden sedang membuka salah satu grup Whatspp keluarganya.
Eden adalah seorang mahasiswi yang merantau jauh dari sebrang Pulau Jawa. Eden menuturkan bahwa ia dan keluarganya terikat dalam grup Whatsapp keluarga demi menjaga kerekatan di antara mereka.

Eden berujar pada awesome writer bahwa keluarganya sebenarnya memiliki dua grup Whatsapp, yaitu "The Moehadjir" dan "Mangun". The Moehadjir merupakan grup dari keluarga besar ayahnya. Sementara, Mangun adalah grup dari pihak ibunya dan terdiri dari kolektivitas yang lebih kecil jika dibandingkan dengan  The Moehadjir. 

The Moehadjir, salah satu grup Whatspp keluarga milik Eden.
Menurut Eden, keluarganya merupakan keluarga yang sangat kolektif. Dalam hal ini, kedua grup tersebut menjadi media yang dapat mempererat tali silahturahim dan kolektifitas di antara anggota-anggota keluarganya. Ia mengatakan bahwa anggota keluarganya banyak terpencar di berbagai daerah, sehingga keberadaan grup tersebut sangat membantu merekatkan kedetakan di antara mereka. Selain itu, grup tersebut juga dapat menjadi media koordinasi jika ada di antara mereka yang hendak mengunjungi kerabat mereka yang akan menikah (baca: kondangan).

Grup whatsapp keluarga milik Eden ini mengilustrasikan bagaimana kolektivitas dirawat atau terpupuk (fostered) melalui keberadaan media. Grup keluarga Eden ini juga menjadi gambaran tentang identitas kelompok yang sama dan terdistribusi dari kolektivisme berjaringan sebagaimana yang disebut oleh Nancy Baym (2015). 

Pada esensinya, kolektivitas di era mediatisasi seperti sekarang ini tidak cukup dipandang sebagai suatu konsep yang mewakili kumpulan individu-individu, kerumunan orang, atau sekadar masyarakat tertentu di daerah tertentu. Di luar dari dua contoh yang telah awesome writer tuliskan, Couldry dan Hepp bahkan banyak memberikan contoh lain bagaimana kolektivitas dewasa ini tidak sepatutnya dipandang dalam cara sesederhana itu. Kita sebut saja imagined communities dan koletivitas inklusi numerik yang akan menghantarkan kita pada spektrum lain dari konsep kolektivitas.

Dengan demikian, ada banyak faktor yang patut kita pertimbangkan dalam melabeli suatu kerumunan sebagai kolektivitas tertentu atau bukan, misalnya saja kerangka relevansi (sebagaimana yang mendasari media-based collectivity) atau  konteks tertentu lainnya yang mendasari suatu kolektivitas dapat terbentuk. Sebagai tambahan, kita juga harus memperhatikan bagaimana dengan kolektivitas-kolektivitas yang sejatinya mungkin saja bukan bentuk komunitisasi (comunitization).
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Awesome readers, ada banyak hal begitu bernilai dalam kehidupan kita seperti keluarga, pelajaran hidup, dan satu hal lagi, waktu. Waktu adalah entitas yang begitu esensial dalam setiap kehidupan kita masing-masing. Waktu pula lah yang kemudian mampu membantu kita dalam memahami tentang apa yang sedang terjadi di dalam dunia sosial kita (Couldry dan Hepp, 2017). 

Kehidupan itu sendiri merupakan proses yang berkesinambungan bersama dengan 'berlarinya' waktu (Couldry dan Hepp, 2017). Namun demikian, jika kita menelaah bagiamana persinggungan antara waktu dengan media dan teknologi, maka waktu tak pernah lagi sama. Waktu bukanlah sekadar entitas yang menjabarkan pada kita tentang suatu proses yang berkelanjutan dari satu peristiwa menuju peristiwa lainnya yang kemudian menyiratkan kemustahilan membolak-balikan masa lalu dan masa yang akan datang (Brandtzaeg dan Lüders, 2018: 3). 

Waktu dan kaitannya dengan media dan teknologi telah menegasikan kemustahilan membolak-balikan masa lalu dan masa depan. Waktu pada gilirannya menjadi entitas yang begitu lentur dan plastis. Waktu bukan lagi tentang proses berkelanjutan antara satu peristiwa menuju peristiwa yang lain dari masa lalu menuju masa depan, melainkan waktu dapat kita maknai sebagai suatu proses relatedness (keterhubungan) yang berjalan secara simultan (Couldry dan Hepp, 2017). Dengan demikian, media dan teknologi kini telah mengubah cara pandang kita terhadap waktu (Nowotny, 1994). 

Ilustrasi simultanitas yang menciptakan keterhubungan dalam satu waktu. Desktop yang berjejal banyak windows (jendela) dibuka dan dioperasikan dalam satu waktu.
Gambar di atas merupakan salah satu contoh sederhana bagaiamana media dan teknologi kini menyebabkan kita memaknai waktu dengan cara yang sama sekali berbeda dengan keadaan sebelum teknologi tersebut muncul. Gambar ini merupakan tangkapan layar laptop awesome writer. Awesome witer atau bahkan kita semua sering melakukan sebagaimana apa yang tertangkap pada gambar di atas: membuka dan mengoperasikan banyak jendela dalam satu waktu.

Kita tak jarang mengerjakan tugas melalui program pengolah kata tertentu sembari membuka penjelajah internet tertentu lalu sekaligus bersanding dengan situs pesan instan tertentu untuk mengkomunikasikan tugas kelompok/ pekerjaan. Sebagaimana contoh gambar di atas, awesome writer terbiasa membuka Microsoft Word, Adobe Acrobat Reader, Chrome, Remote UI, iBook, bahkan Whatssapp Web dan Youtube dalam satu waktu. Kegiatan ini menjadi ilustrasi bagaiamana media dan teknologi telah memungkinkan awesome writer untuk bekerja secara simultan dengan mudahnya. Kegiatan ini juga menyiratkan bahawa media dan teknologi telah mendorong kita untuk bekerja secara multitaksing (beragam pekerjaan dilakukan dalam waktu yang relatif sama).

Itu contoh sederhananya, lantas bagaiama pergesaran makna tentang waktu ini jika kita kaitkan dengan dunia sosial? 

Jika kita kaitakan tentang pergeseran makna tentang waktu dan dunia sosial, maka kita bisa mengambil contoh kasus penerbitan berita. Penerbitan berita dewasa ini tidak perlu memakan waktu yang panjang. Bahkan pada level konsumsi, kita dapat menikmati berita dari berbagai kanal pada satu waktu dengan cara yang sangat mudah tentang satu topik tertentu. Sehingga, kita dapat memperbandingkan pemberitaan media satu dengan media lainnya tentang satu pemberitaann. Hal ini lantas menyebabkan nilai berita justru terdegradasi.

Dorongan simultanitas dan kontinuitas berita yang terus meningkat demi traffic internet menyebabkan berita tak lagi melalui proses evaluasi yang ketat. Pada saat itu peristiwa terjadi, tak selang beberapa lama berita dituliskan lantas di produksi dan dalam hitungan detik pemberitaan terus dapat di-update. Maka, jangan heran ketika fenomena disinformasi menjadi lumrah merebak di masyarakat kita.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“Space is an important means by which communication contributes to the construction of the social world.” 
(Couldry dan Hepp dalam “The Mediated Construction of Reality”)

Awesome readers, baru-baru ini sebuah akun Instagram menjadi perbincangan hangat di antara warganet. Akun tersebut menjadi viral akibat beberapa foto yang di-posting di dalamnya. Foto-foto tersebut terlihat menggelikan namun sarat akan rasa jengah yang sudah terlalu lama terpendam. Foto-foto tersebut ialah foto milik Robby Ari Sanjaya, seorang fotografer asal Sumatera Selatan. Berikut  ini foto karya Robby:

Jalan rusak di sekitar Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan dijadikan objek foto sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.
Tangkapan layar dari akun Instagram Robby Ari Sanjaya (@as_robby)
Foto-foto Robby menuai apresiasi dari warganet karena mencoba menangkap kondisi jalan rusak di sekitar Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan dengan cara yang tidak biasa. Awesome writer lansir dari Kompas, Robby mengakui, dirinya memang sengaja menggunakan lokasi jalan rusak sebagai bentuk protes kepada pemerintah daerah yang lamban melakukan perbaikan jalan.

Robby berujar pada Kompas, "Memang tiap hari saya lewat jalan sini, rumah saya di Batumarta dan saya kerja di Baturaja, sudah lama jalannya rusak namun tak diperbaiki, masyarakat tiap hari merasakan sulitnya lewat jalan ini. Jadi, terpikirkan buat konsep tersebut, awalnya untuk menghibur, tidak menyangka bisa jadi viral begini."

Foto Robby ini mengiaskan bagaimana ia menggunakan media sosial sebagai ruang untuk berpendapat. Media sosial sebagai kanal untuk membangun relasi dirinya dengan pemerintah. Lebih dari pada itu, foto-foto ini menurut Awesome writer, meminjam istilah Couldry dan Hepp (2017), adalah manifestasi dari "space of action". Kalau dahulu menyuarakan pendapat mengharuskan kita untuk datang langsung ke "depan wajah" orang yang hendak kita berikan maklumat, kini hal ini tidak lagi menjadi pilihan utama. Robby mengilustrasikan bagaiamana membangun relasi dengan pemerintah bahkan dapat dilakukan melalui media sosial.

Boyd (2014 dalam Couldry dan Hepp, 2017) menyatakan bahwa platform media sosial, secara umum, bekerja sebagai ruang untuk bertindak (space of action) secara kolektif dan penuh mufakat. Dengan demikian, kontribusi situs jejaring sosial bukanlah untuk memperluas jangkauan orang-orang dalam berinteraksi melainkan untuk menyediakan sebuah ruang bertindak, pusat gravitasi baru, yang sebelumnya belum pernah ada, yang memungkinkan pembentukan ulang organisasi simbolik dalam kehidupan sehari-hari.


Media sosial telah memungkinkan kita untuk menciptakan ruang yang sebelumnya belum pernah ada. Ruang itu tak harus melulu ruang fisis. Ruang itu bisa tercipta dengan cara yang begitu plastis. Menurut Couldry dan Hepp (2017) ruang merupakan entitas prominen yang dengannya komunikasi ikut andil dalam mengkonstruksi dunia sosial. Keterkaitan antara ruang dan proses komunikasi adalah fitur lain dari dunia modern. Ruang dalam hal ini seolah tak mungkin lepas dari proses komunikasi demi membangun makna di balik dunia sosial. Ruang menurut Couldry dan Hepp lantas dimaknai sebagai relationship (relasi atau hubungan). Jika awesome readers ingin mempelajari lebih lanjut tentang media dan ruang, kalian bisa juga baca buku Couldry dan McCarthy (2004) berjudul MediaSpace:Place, Scale and Culture in a Media Age.

Seorang ahli teori spasial dari Perancis, Henri Lefebvre dalam Couldry dan Hepp (2017), berujar bahwa ruang sosial "bukanlah sesuatu di antara satu hal dengan hal yang lainnya", tetapi ia merupakan "hubungan antara berbagai hal", sesuatu yang "mencakup keterkaitan berbagai hal tersebut berada dalam koeksistensi dan simultanitas mereka". Artinya, ruang merupakan hubungan dari berbagai hal yang saling terkait dan ada secara berdampingan dengan kita pada waktu yang relatif sama dengan keberadaan kita.

Tanpa ruang, makna di balik dunia sosial seakan kehilangan medianya untuk merambat. Bersama dengan ruang, waktu pun ikut mengambil bagian sebagai katalis lain dalam memaknai dunia sosial. Setidaknya ini beberapa gagasan yang termaktub dalam buku Couldry dan Hepp (2017). “Namun ruang adalah sumber daya yang langka (Pred, 1990 dalam Couldry dan Hepp (2017).

Walaupun kehadiran media sosial dapat menjadi ruang lain dalam menyuarakan pendapat, namun ruang ini tidak serta merta menjamin suara kita dapat didengar dengan baik. Kita harus mengupayakan agar ruang itu dapat menarik minat. Kita ambil saja contoh karya miik Robby. Robby menggagas bentuk protesnya tersebut dengan memakan waktu selama kurang lebih satu pekan lamanya.

Ia harus menciptakan konsep apik yang akan mudah diterima dan dicerna oleh orang yang melihatnya. Ini bukan perkara yang mudah. Bagaimana Robby memilih jenis platform media sosial juga menggambarkan tentang strateginya dalam menyuarakan pendapat. Ia memilih Instagram, sebagai media sosial peringkat ke tiga yang paling digandrungi warga Indonesia, untuk menjadi ruangnya berpendapat.


Robby sendiri tidak main-main, ia menggunakan jasa model agar fotonya nampak lebih hidup. Bukan hanya satu orang model, tapi ia menggaet hingga lima orang model. Model-model tersebut sebelumnya telah diberi tahu oleh Robby tentang konsep foto yang ia usung. Ia mengatakan pada mereka bahwa para model tersebut harus siap menahan malu karena akan mandi lumpur di tengah jalan. Hmm... kesungguhannya terbayar? Belum tentu, menjadi viral di media sosial bukan sekadar tujuan Robby. Foto-foto ini bernarasi dengan kuat akan harapan perbaikan jalan agar segera dilakukan. Maka, apabila foto ini dapat merealisasikan harapannya akan perbaikan jalan dengan sesegera mungkin, menurut awseome writer pada titik itulah susah payah Robby menuai hasilnya.

Pada tanggal 4 Maret 2019, tersiar berita bahwa viralnya foto Robby tentang jalan rusak di sekitar Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan telah "mampir" ke telinga presiden. Jokowi memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga untuk segera memperbaiki jalan tersebut. Bahkan, melalui berita tersebut awesome writer baca jika perbaikan jalan sudah dimulai sejak Hari Senin kemarin (4 Maret 2019). Rencananya jalan tersebut akan tuntas diperbaiki satu bulan ke depan. Ini tentu kabar menggembirakan bagi warga di seputar Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Lantas, bagaimana dengan kondisi jalan rusak lain di negeri ini yang belum sempat viral??? Semoga semua warga negera kita bisa merasakan nikmatnya perbaikan jalan yang sama seperti yang viral itu yaa...



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About

Hi there!
I am Esy Andriyani
This is my personal blog. I endeavor to assemble miscellaneous notions and observations as a mere human being. Well, feel free! Serve yourself...

Featured Post

5 Tips Awesome Sebelum Membeli Buku

Labels

  • Awesome Tips (2)
  • Blog Insight (15)
  • Book Review (6)
  • Digital Media & Social Construction (13)
  • Freebies (2)
  • Miscellaneous (6)
  • Soliloquy (7)

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2021 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2020 (14)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (3)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  December (1)
    • ►  May (4)
    • ►  April (5)
    • ▼  March (3)
      • Collectivity in the Deep Mediatized World
      • Pergeseran Makna tentang Waktu
      • Viralnya Jalan Rusak dan 'Space of Action'
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (9)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (6)
    • ►  December (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2016 (5)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)

Bloom Beautifully

Popular Posts

  • Al Baqarah 152-157
  • Tidak Akan Pernah Kenyang dari Al Qur'an
  • Watermelon, Carrot, Parsley Juice
  • About
  • Alhamdulillah: Me vs Supir Taksi

Free Quran Wallpapers

Awesome Sites

  • Kisah Muslim
    Abul Hakam Rafi’ bin Sinan Radhiallahu ‘Anhu dan Bayinya - Abul Hakam Rafi’ bin Sinan adalah salah seorang sahabat Anshar yang berasal dari kabilah Aus. Ia termasuk salah seorang sahabat ... SelengkapnyaAbul Hakam...
    3 months ago
  • Muslim.Or.Id
    Hukum Puasa Syawal di Hari Jumat Saja - Sebagaimana kita ketahui, terdapat hadits yang melarang kita mengkhususkan puasa sunah di hari Jumat. Bagaimana jika seseorang puasa sunah di bulan Syawa...
    10 hours ago
  • Muslimah.Or.Id
    Alasan Pelaku Maksiat: Saya Belum Dapat Hidayah! - Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin Soal: Seorang pelaku maksiat, ketika diajak kepada kebenaran ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah belum menak...
    1 day ago
  • Qur'anic Reflections
    A Fulfilment - الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات By the grace and favour of Allāh upon me, I’ve successfully completed my Master’s Degree in ʿUlūm al-Qurʾān and Tafsīr....
    1 year ago
  • Radio Rodja
    Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat - Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-B...
    2 days ago
  • Rumaysho
    Bolehkah Puasa Syawal, Tetapi Masih Memiliki Utang Puasa Ramadhan Karena Haidh? - Rumaysho.Com - Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Ini masalah yang sering ditanyakan, apakah boleh puasa Syawal sedangkan masih memiliki utang puasa Ramad...
    1 week ago

Total Pageviews

Awesome Readers

Contact Form

Name

Email *

Message *

Created with by ThemeXpose