Pages

  • Home
  • About
  • Blog Insight
  • Awesome Tips
  • Soliloquy
  • Book Review
  • Freebies

Dancing Rain in the Autumn

Media telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat modern. Kita seakan tidak hidup secara paripurna tanpa kehadiran media. Alhasil kita memandang dunia sebagaimana apa yang media sajikan pada kita. Namun demikian, media adalah entitas yang sejatinya mengonstruksi realita. Media hanyalah institusi yang merepresentasikan sebagian realita. Artinya, realita yang utuh secara menyeluruh mustahil disajikan secara autentik oleh media. Media pada gilirannya kerap melakukan misrepresentasi dalam menggambarkan seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu. Ini kemudian berujung pada hidden injuries (luka-luka tersembunyi) pada tubuh yang direpresentasikan secara keliru.

Miller (2002 dalam Saeed, 2007: 443) menuliskan bahwa media memiliki power (kekuasaan) untuk merepresentasikan dunia dengan cara tertentu. Media dapat menggunakan beragam cara dan bahkan saling bertentangan untuk membentuk makna tentang dunia. Dengan demikian, apa dan siapa yang sedang direpresentasikan; siapa dan apa yang secara rutin sedang ditiadakan dari gambaran media; dan bagaimana sesuatu, orang, peristiwa, hubungan  direpresentasikan menjadi perihal yang esensisal. Kita mengetahui lingkungan sosial kita sebagaimana apa yang direpresentasikan oleh media. Pengetahuan ini pada gilirannya menjadi acuan bagi kita untuk bertindak.

Gagasan Miller Miller (2002 dalam Saeed, 2007: 443) tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Couldry (2012) dalam Bab “Media and the Hidden Shaping of the Social”. Media pada substansinya memiliki kekuasaan simbolik untuk mendeskripsikan realita. Kekuasaan simbolik ini tak lain adalah gambaran-gamabaran yang media pilih untuk mengilustrasikan realita. Dengan kata lain, ada gambaran-gambaran uneven (tidak adil/ berat sebelah) yang media tampilkan dalam mengkonstruksi realita.

Media adalah institusi yang beroperasi secara ekonomi, sehingga apa yang media coba gambarkan akan sangat bergantung pada faktor ekonomi dan, tentu saja, faktor politik mereka. Kita ambil contoh, media mustahil menayangkan suatu program dengan durasi berjam-jam karena program-program media saling berkompetisi. Ini sama halnya dengan kasus apa yang ingin media angkat ke muka publik dan bagaimana kasus tersebut dibingkai sehingga sesuai dengan, katakanlah, rating. Keadaan-keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan misrecognition (kekeliruaan dalam memahami suatu realita). Ini tentu saja ketika kita hanya bergantung penuh pada apa yang media gambarkan. 

Hal ini lantas menghantarkan pada minat akademik untuk mengkaji hubungan antara representasi media minoritas dan isu-isu tentang etnis, ras, multikulturalisme, dan politik identitas (Ahmed dan Matthes, 2017: 2). Salah satu isu yang dewasa ini tetap ramai direpresentasikan oleh media adalah Islam. Islam terutama kerap muncul dalam bingkai media sejak peristiwa keji dan mengerikan 9/11. Media dan berbagai debat politik terkait Muslim dan Islam meruncing pada diskursus Orientalisme (Saeed, 2007). Sementara itu, negara Barat merasa perlu untuk mendefinisikan ulang relasi antara mereka dan negara-negara Muslim (Ibrahim, 2010).

Dalam konteks Indonesia dan fenomena-fenomena yang cukup dekat dengan awesome writer. Representasi media terhadap Muslim dan Islam telah mengendap dalam pada masayrakat Indonesia. Walaupun demikian, pernyataan ini tentu membutuhkan data lapangan lebih lanjut. Namun, setidaknya awesome writer dan beberapa kisah dari orang-orang terdekat menjadi bukti bahwa media memang memiliki kuasa untuk merepresentasikan sesuatu sesuai kehendak media. 

Awesome readers mungkin ingat kasus Rohis yang dituding menjadi sarang teroris? Pada tahun 2012, kala itu terorisme di Indonesia kembali menggeliat. Entah apa yang sedang diideologikan oleh para teroris tersebut sehingga umat Muslim lainnya terkena imbasnya. Hmmm... awesome writer sungguh tak habis pikir. Teror-teror tersebut kemudian berdampak pada ekstrakulikuler yang merekrut siswa melalui masjid-masjid sekolah, Rohis.

Salah satu infografis yang Metro TV tampilkan untuk menjelaskan Pola Rekrutmen Teroris Muda.
Rohis kala itu ramai diperbincangkan sebagai wadah rekrutmen teroris muda akibat pemberitaan yang dilakukan oleh Metro TV. Walaupun kemudian Metro TV meminta maaf karena "memang" mereka tidak menyebutkan secara tersurat bahwa ekstrakulikuler yang mereka maksud adalah Rohis, tapi dampak yang mereka timbulkan telah mengendap dalam diri masyarakat. Sebagai contoh, Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta kepada pengelola sekolah SMP maupun SMA untuk mengawasi kegiatan Rohani Islam (Rohis).

Terorisme di Indonesia memang tidak hanya satu atau dua kali terjadi. Ada daftar panjang yang akan terlalu berlebihan jika awesome writer tuliskan dalam unggahan ini. Sepanjang terorisme itu terjadi di negeri kita ini, maka sepanjang itu pula pemberitaan media terkait isu terorisme. Pemberitaan terkait terorisme ini tentu saja tak ketinggalan dengan embe-embel Islam dan Muslim. Hmm... bukan hal yang mengherankan memang karena para teroris tersebut mengatasnamakan diri mereka sebagai orang Islam. Padahal, agama manpun dan tentunya Islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan tindak terorisme.

Namun demikian, pemberitaan media dan bagaimana media merepresentasikan Islam sebagai agama teror telah menjadi sembilu bagi umat Muslim. Sebagai contoh, orang tua awesome writer sendiri merasa sangat khawatir jika awesome writer menggunakan hijab yang terlalu lebar apalagi jika bercadar. Setali tiga uang, sebelum begitu ramai masyarakat Indonesia berduyun-duyun berhijrah, celana cingkrang dan jenggot kerap kali menjadi simbol yang identik dengan teroris. Ada pula salah satu kabar menyedihkan selepas kawasan Thamrin diteror, seorang perempuan bercadar dipaksa turun dari bis karena beberapa penumpang mengatakan bahwa mereka tidak ingin satu bis dengannya. 

Hal yang menyedihkan dari kasus ini adalah ketika orang Islam sendiri akhirnya gerah dengan umat Muslim lainnya yang (tadi) menggunakan atribut yang identik dengan teroris: cadar, celana cingkrang, jenggot, dan yang semisal. Padahal, mereka hanya berusaha untuk menjadi Muslim yang taat yang sesuai dengan sunnah Nabinya shalallahu 'alaihi wa sallam.


Salah satu komentar menanggapi video yang diunggah Liputan6 berjudul 'Rahasia' Perempuan Bercadar.

Pada substansinya, media memiliki kekuasaan untuk menggambarkan bagaimana realita itu dapat dipahami. Media dalam hal ini mampu membentuk diskursus publik. Kita dapat melihat apa yang dituliskan oleh Latour (1993 dalam Couldry, 2012) bagaimana cedera tersembunyi dari kekuatan media secara sistematis mengkonstruk bagaimana dunia sosial disajikan untuk kita semua, membuat potensi 'sosial' lainnya tidak terlihat, tidak terpikirkan, tidak terwakili.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bazarova dan Yoon Hyung (2014) mengungkapkan bahwa media sosial telah membuka kemungkinan baru untuk berbagi informasi pribadi dengan jaringan online. Jutaan orang secara rutin mengungkapkan informasi pribadi di situs jejaring sosial. Dari mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi yang mendalam hingga mendokumentasikan detail kehidupan sehari-hari. 

Ini menjadi gambaran keterbukaan informasi publik yang mengaburkan batas-batas antara publisitas dan privasi. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan tentang pengungkapan diri dan kontrol informasi di media sosial. Selain itu, kondisi ini juga menjadi ilustrasi akan ritual yang termediatisi (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Ritual yang termediasi? Hmmm... awesome reader mungkin bingung bagaimana maksudnya pengungkapan diri kita di media sosial dapat dikatan sebagai ritual dan terlebih ritual yang termediatisi? 

Ritual yang termediasi yang dimaksudkan Couldry dalam hal ini bukan mengacu pada konsep ritual konvensional yang selama ini kita pahami. Ritual bukanlah ritus (praktik-praktik keagamaan tertentu) atau pun tindakan seremonial tertentu. Ritual pada konteks ini ialah tindakan tertentu kita yang memungkinkan media menjadi pusat dalam tindakan tersebut (Couldry 2003; Couldry, 2012).

Sementara itu, pengungkapan diri ialah tindakan mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain (Jourard, 1971). Ini adalah tindakan yang disengaja yang biasanya dikomunikasikan melalui perilaku verbal yang menggambarkan orang, pengalamannya, dan perasaan (Chelune, 1975). Keputusan pengungkapan diri biasanya bersifat dialektis (Petronio, 2002). Pengungkapan diri pada saat yang sama menyebabkan kita seolah tarik menarik antara membuka atau menutup informasi tertentu, mengungkapkan atau tidak mengungkapkan informasi tertentu, dan dalam hal ini ketegangan manajemen personal dan publik terjadi (Altman, 1975; Westin, 1967). 

Menurut Petronio (2002) setidaknya terdapat enam hal yang mendorong kita membagikan informasi kita kepada orang lain, yaitu untuk tujuan membangun intimasi, meringankan beban hidup, menggapai kontrol sosial, menikmati kebebasan berekspresi, untuk bersosialisasi atau berinteraksi, dan untuk memvalidasi perspektifnya. Sementara itu, Tamir dan Mitchell (2012) mengungkapkan bahwa pengungkapan diri biasanya dipicu oleh kebutuhan untuk keterhubungan sosial dan penghargaan.
Ilustrasi pengungkapan diri pada laman media sosial Facebook miliki seorang remaja.

Namun demikian, pengungkapan diri perlu menjadi pertimbangan serius terutama setelah pengungkapan diri kini menjadi ritual yang termediatisi. Pengungkapan diri yang termediatisasi tak jarang  membawa risiko kerentanan dan kehilangan informasi karena penyingkapan yang berlebihan pada orang lain (Altman, 1975) terutama di media sosial.

Di sisi lain, pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga menjadi gambaran bagi kita bahwa sesuangguhnya apa yang kita ungkapkan pada media sosial kita bukanlah kita yang seutuhnya. Kita tidak mungkin mengungkapkan secara terperinci tentang diri kita di media sosial. Sementara itu, kita mengungkapkan hal yang membuat orang lain mempersepsikan diri kita sebagaimana yang kita inginkan: sebagai ornag yang pedulikah, religiuskan, humoriskan, atau yang semisal. Pengungkapan diri yang termidiatisasi ini juga mengilustrasikan bagaimana media berkuasa untuk menggeser konsep privasi menjadi kabur.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Bagaimanapun media telah berkembang menjadi bagian integral dalam praktik keseharian kita (Couldry, 2012). Dalam hal ini, internet dan mesin pencari (search engine) dewasa ini telah menjadi sumber dan intrumen utama dalam menggali informasi. Menurut Byung-Chul (2017) internet dengan sedemikian rupa memang telah menjadi candu bagi kita.  Dalam konteks penggunaan mesin pencari sebagai salah satu praktik media kita, kita seolah tak punya pilihan selain menggunakan mesin pencari. 

Dahulu kita terbiasa untuk menggali informasi melalui buku, surat kabar, atau melalui bantuan para pustakawan. Kini, mesin pencari (search engine) seperti Google telah mengubah praktik kita dalam mencari informasi tertentu (Bódogh, 2011). Ini sebagaimana Matthew Hindman (2009) ungkapkan bahwa kita dapat menemukan informasi yang kita inginkan melalui dua cara, yaitu dengan menelusuri kembali situs yang sebelumnya pernah kita tahu atau melalui mesin pencari. 

Sementara, perlu kita pahami awesome readers bahwa tanpa sadar kita telah keliru. Mesin pencari yang memungkinkan kita menemukan hampir segala hal telah membuat kita beranggapan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak teridentifikasi (Bódogh, 2011). Lantas, kita terus menerus mencari dan mencari tanpa peduli bahwa selama ini search queries (permitaan pencarian) kita telah diarsipkan dan dimonetisasi (Bódogh, 2011; Byung-Chul, 2017).

Byung-Chul (2017) memandang keadaan ini sebagai ambivalensi dari konsep kebebasan. Ia kemudian menuliskan bahwa internet sejatinya menghantarkan kita pada penjajahan model baru. Kita dengan suka rela menyerahkan data-data pribadi kita bahkan tanpa berpikir panjang. Data-data tersebut pada gilirannya menjadi kapital bagi korporasi-korporasi raksasa atau setidaknya mengkuantifikasi kita sebagai konsumen iklan-iklan yang ter-costomised. 

Di sisi lain, mesin pencari sebagai praktik media kita menghantarkan kita pada problema tentang privasi. Sebelum membahas privasi dalam praktik media kita dengan lebih lanjut, maka pertama-tama kita telaah terlebih dahulu data apa saja yang selama ini disimpan dan diarsipkan mesin pencari. Bódogh (2011) menuliskan bahwa log pencarian berisi data seperti alamat Protokol Internet (IP) dari perangkat pengguna, jenis dan bahasa browser (penjelajah) yang digunakan, tanggal dan waktu permintaan, ID cookie yang diatur dalam penjelajah pengguna serta pencarian permintaan itu sendiri.

Data-data tersebut memang tidak secara langsung membuat seorang pengguna dapat teridentifikasi. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa perusahaan-perusahaan pengelola mesin pencari semisal Google ini tidak menyediakan layanan secara cuma-cuma. Mereka kan bukan yayasan amal.  Mereka bekerja untuk memperoleh profit. Walaupun seolah mereka bukan mencari keuntungan melalui kita, penggunanya, mereka pada dasarnya bekerjasama dengan pihak lain yang mampu mendatangkan nilai ekonomi, pengiklan.

Dengan demikian, pengelola mesin pencari menyediakan ruang bagi pengiklan. Mereka menyediakan tautan agar dapat diklik dan mendatangkan pendapatan. Dalam praktik ini, pengelola mesin pencari menggunakan data kita agar pengiklan dapat menembakkan iklannya pada ceruk pasar yang tepat (Bódogh, 2011).  Fenomena ini kemudian menjadi ilustrasi dari gagasan Couldry (2012) bahwa faktor ekonomi (dan politik) menjadi faktor yang prominen dalam melengkapi pemahaman kita terhadap media.

Pada substansinya, media telah menjadi bagian yang hari ini, dapat kita katakan, tidak terpisahkan. Sebagaimana yang awesome writer bawakan, mencari informasi melalui mesin pencari smeisal Google menjadi hal yang sangat kita gandrungi. Kegiatan ini praktis dan efisien. Sementara kita tak sadar bahwa praktik-praktik kita rupanya telah menjadi data ekonomis bagi para pengelola mesin pencari. Dengan demikian, praktik-praktik medi akita ini pada gilirannya menimbulkan banyak ketegangan dan kerumitan yang perlu kita atasi, yah setidaknya dengan membekali diri dengan seperangkat pengetahuan semisal literasi digital.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustrasi konsep order (tatanan). Tumpukan atau tatanan batu bata pada pagar suatu gedung.
Awesome readers, sulit untuk kita pungkiri bahwa media sosial telah banyak mengubah tatanan kehidupan sosial kita. Pada konteks ini, tatanan politik juga tak luput terkena dampaknya. Media sosial telah memungkinkan mobilisasi politik jangka pendek dan sekaligus mengintensifkan dinamika dan skandal yang ada di dalam perpolitikan itu sendiri (Couldry dan Hepp, 2017). Walaupun demikian, kesimpulan ini tidak cukup memadai untuk memahami bagaiamana penetrasi media yang mendalam ini telah mempengaruhi tatanan kehidupan sosial kita terutama dalam aspek politik.

Sementara itu, pada tulisan ini awesome writer ingin mencoba menjelaskan fenomena buzzer sebagai ilustrasi perubahan tatanan sosial kita dalam aspek politik. Apabila komunikasi yang dipersonalisasi dalam kancah perpolitikan era media digital dianggap sebagai wawasan yang sia-sia, Nielsen (2012) menganggap hal ini keliru. Nielsen (2012) memandang bahwa komunikasi atau kampanye secara personal masih relevan untuk dilakukan. Dalam kasus ini kampanye dapat melibatkan sekumpulan orang misalnya relawan, pekerja paruh waktu atau bahkan orang-orang bayaran. Orang-orang bayaran dalam gagasan Nielsen (2012) tersebut menurut awesome writer dapat kita bahasakan dengan istilah buzzer.

Buzzer (pendengung atau pelaku buzz) sebenarnya berkaitan erat dengan dunia marketing (pemasaran). Emanuel Rosen dalam O'Leary (2008: 22) menyatakan bahwa buzz merupakan muara dari word of mouth. Word of Mouth, seringkali disingkat sebagai WOM, merujuk pada komunikasi orang-ke-orang antara komunikator dan penerima yang menganggap pesan yang disampaikan sebagai informasi non-komersial. Subjek pesan ini dapat berupa merek, produk, atau layanan (Arndt, 1967; Luarn, Huang, Chiu, dan Chen, 2016). Kembali merujuk pada gagasan Rosen dalam O'Leary dan Sheehan (2008: 22), ia mendefinisikan buzz sebagai sejumlah komentar tentang produk atau perusahaan tertentu pada titik waktu tertentu. Gagasan Rosen ini menitik beratkan pada ‘komentar’ sebagai gagasan, pesan, atau opini yang disampaikan dari satu orang kepada orang lain (O'Leary dan Sheehan, 2008: 22).

Dewasa ini istilah buzzer telah bergeser dan begitu berkaitan erat dengan kontestasi politik terutama di Indonesia. Buzzer pada esensinya tetap berfungsi sebagai pendengung untuk melancarkan program pemasaran. Namun dalam konteks politik, buzzer dapat berguna untuk mendongkrak elektabilitas tokoh atau partai tertentu. Pada praktiknya, buzzer-buzzer politik biasanya berkicau dengan menggunakan tagar unik dan/ atau memanfaatkan jaringan dan aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp dan Telegram untuk menyebarkan konten.

Ilustrasi konsep order (tatanan). Tatanan kursi untuk mengilustrasikan perebutan kursi politis.
Buzzer politik mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012. Sehingga buzzer dan kontestasi politik di Indonesia bukanlah hal yang asing lagi. Berdasarkan laporan yang dilakukan oleh CPIG (2017) buzzer memiliki kekuatan untuk mengamplifikasikan pesan. Kekuatan mereka ini dianggap mampu mendiseminasi isu-isu politik dengan cepat. Dengan demikian, bukan hal yang mengherankan jika keberadaan industri buzzer bersemi bagai jamur di musim hujan.

Buzzer yang telah bertransformasi menjadi industri tak jarang menggelontorkan berbagai hoaks demi melancarkan aksi mereka. Lebih dari pada itu, warganet cenderung menyukai dan menerima konten yang sesuai dengan ideologi mereka. Sehingga, hal ini berimplikasi pada filter bubble (algoritma) yang ada di media sosial mereka untuk ikut serta mensukseskan kinerja para buzzer (Pariser, 2011). Keadaan ini pada gilirannya dikenal dengan istilah echo chamber. Alhasil, warga yang telah tumpul logikanya akibat fanatisme buta makin terjerembab pada aksi dan pemikiran politik yang dangkal.

Buzzer seakan tak mungkin lepas dari para aktor politik di negeri ini. Strategi kampanye politik menggunakan jasa buzzer ini seakan punya efek adiktif. Dengan demikian, bukan hal yang mengejutkan jika buzzer akhirnya dinilai memiliki prospek karir yang semakin cerah.

Keberadaan industri buzzer yang akhirnya melahirkan banyak diskursus. Sebagian menyatakan bahwa fenomena industri buzzer menjadi paradoks akan cita-cita pemerintah yang hendak memerangi hoaks. Sebagian menyarankan agar keberadaan mereka tersebut segera ditertibkan dalam regulasi yang pasti.

Secara substansial, fenomena buzzer dan bagaiamana hal ini telah mengubah tatanan politik di negeri ini, mengilustrasikan bahwa konstelasi politik dan pemerintahan kita telah begitu bergantung pada infrastruktur media. Demi mendongkrak elektabilitas diri dan/ atau partainya, melibatkan infrastruktur media adalah hal mustahil dilewatkan. Buzzer melalui kicauan dan pesan-pesan sensasional mereka seakan mampu menyentuh afiliasi politik dalam lingkung yang personal.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustrasi kolektivitas, dua orang penumpang Bus Transjakarta yang baru saja turun dari bus.
Hi there awesome readers... tulisan ini merupakan follow up dari komentar-komentar yang sebelumnya menanggapi unggahan "Collectivity in the Deep Mediatized World".  Semua komentar yang masuk merupakan koemntar-komentar yang positif dan membangun. Komentar-komentar yang membuat awesome writer jadi semangat untuk terus dapat berbagi tulisan. Semoga selalu diberi taufik untuk berbagi tulisan yang bermanfaat, aamiin...

Dari komentar-komentar yang telah masuk, awesome writer menemukan berbagai komentar yang bertanya lebih lanjut tentang konsep-konsep lain dari konsep kolektivitas itu sendiri. Komentar-komentar tersebut terutama ingin memahami lebih lanjut bagaiamana kolektivitas inklusi numerik dan imagined communities (kolektivitas imajiner). Menurut awesome writer ini muncul karena di akhir tulisan awesome writer memang sempat menyinggung dua konsep tersebut sebagai spektrum lain dari konsep kolektivitas yang digagas oleh Couldry dan Hepp. Dengan demikian, awesome writer ingin membahas dua konsep tersebut dalam tulisan kali ini.

 Kolektivitas Inklusi Numerik 
Menurut Passoth, Sutter dan Wehner (2014 dalam Hepp dan Krotz 2014) relasi antara penyedia konten, khalayak, dan produksi kultural lainnya dewasa ini telah berubah. Para khalayak ini telah terkonsentrasi melalui kalkulasi numerik. Kita menjadi kerumunan yang terhimpun akibat adanya perhitungan statistik. 

Apa yang menjadi kesukaan kita pada paltform tertentu, kita sebut saja misalnya piihan genre suara yang kita dengar melalui Soundcloud, menyebabkan kita menjadi bagian dari kolektivitas berdasarkan kesukaan tersebut. Kita tergabung dalam deretan orang-orang yang bahkan tidak kita kenal hanya karena kita berada pada lingkup kesukaan genre yang sama. Selain itu, tak jarang berbagai pilihan suara yang telah kita sukai atau yang kita ikuti menyebabkan rekomendasi-rekomendasi suara-suara lain yang semisal muncul pada laman Soundcloud kita.

Penampakan beranda Soundcloud awesome writer dan beberapa daftar suara murottal (bacaan Al Qur'an) lainnya yang direkomendasikan Soundcloud.
Apa yang kita sukai dan apa yang kita ikuti tersebut menjadi jejak digital kita yang kemudian diarsipkan oleh misalnya Soundcloud. Berdasarkan jejak-jejak digital yang kita tinggalkan ini kerumunan khalayak dengan karakteristik tertentu terus diproduksi. Akumulasi ini pada akhirnya menjadi instrumen bagi industri periklanan untuk menuai laba dari khalayak yang customised (telah disesuaikan/ dikhususkan) (Couldry dan Hepp, 2017).  

Namun sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kita yang dikerumunkan melalui perhitungan angka statistik ini bahkan tidak saling mengenal dengan individu lainnya. Sehingga, Couldry dan Hepp (2017) memasukan kolektivitas inklusi numerik ini dalam sub bab Kolektivitas tanpa Komunitisasi. Mengapa dapat disebut demikian? Karena konsep komunitisasi mensyaratkan adanya bentuk kolektivitas yang fixed (tetap) misalnya seperti kolektivitas RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga) tertentu. Mereka dalam hal ini memiliki shared meaningful yang terbentuk melalui proses yang panjang. Sementara, kolektivitas inklusi numerik ini sekadar menghimpun individu-individu berdasarkan kesamaan rasa dan selera terhadap sesuatu hal tanpa memperjuangkan proses pembentukan makna yang panjang di antara aktor-aktornya.

 Imagined Communities (Kolektivitas Imajiner) 
Istilah imagined communities sendiri pada asalnya merupakan gagasan yang dikemukakan oleh Benedict Anderson. Pada esensinya, Anderson ingin mengungkapkan bahwa kolektivitas dapat terbentuk bukan semata-mata karen akita berada pada lingkungan fisik yang sama. Bahkan kita yang jauh secara geografis pun mampu menjadi bagian dari kolektivitas tertentu, misalnya kebangsaan tertentu, afiliasi politik tertentu, dan agama tertentu.

Kalau meminjam contoh dari Mba Titut, dosen kami pengampu Mata Kuliah Media Digital dan Konstruksi Realita, yaitu orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri orang. Beliau saat itu menyebutkan bahwa ada ada orang-orang Indonesia di luar sana yang melanggan koran Kompas demi dapat merasakan "bahwa aku orang Indoensia", di mana secara fisis diri mereka memang tidak berada di Indonesia, tetapi melanggan koran Kompas ini menjadi simbol kebangsaan mereka (national we).  Mba Titut kemudian juga menambahkan contoh tentang dirinya sendiri ketika dahulu mejadi mahasiswa di Australia. Mba Titut bercerita ketika ia suatu saat memilih untuk makan di satu rumah makan Padang yang pada dasarnya "...rasa masakannya ga enak, tapi karena di sana banyak orang Indonesia..." akhirnya menyebabkan Mba Titut rela menyambangi rumah makan tersebut ketika rinduya pada kampung halaman membuncah.

Sebagai contoh yang lain dari kolektivitas imajiner ini adalah perasaan kita terhadap orang lain karena basis agama yang sama. Awesome writer dan mungkin awesome readers pernah merasakan hal yang sama ketika melihat saudara-saudara kita di belahan bumi yang lain ini ditindas. Kita sebut saja muslimin di Palestina, Suriah, Yaman, Uyghur, Rohingya, Mali dan yang semisal. Kita pada dasarnya bukan bagian dari kebangsaan mereka, namun pada satu titik, karena kita memeluk agama yang sama, karena kita memiliki rasa kemanusiaan yang sama, akhirnya memunculkan perasaan ikut tertindas. Kita merasa menjadi satu tubuh dengan saudara-saudara kita tersebut. 
Tangkapan layar dari akun Instagram Actforhumanity (Aksi Cepat Tanggap). Seorang anak dari Palestina yang memgang foto ayahnya, seorang jurnalis, yang telah tewas ditembak oleh Zionis.
Pada substansinya, kolektivitas inklusi numerik dan kolektivitas imajiner merupakan konsep-konsep kolektivitas yang coba ditawarkan oleh Couldry dan Hepp (2017). Dua konsep ini mengilustrasikan bagaiamana kolektivitas kita hari ini tidak cukup memadai jika sekadar dipahami sebagai komunitisasi yang tetap (terbentuk karena shared meaningful dari berbagai aktor yang terlibat di dalamnya). Penawaran berbagai spektrum kolektivitas ini juga menjadi ilustrasi bagaiamana media memainkan peran dalam membentuk dan mengintesifkan figurasi-figurasi (interdependensi antara berbagai aktor atau individu) dalam dunia sosial kita (Elias, 1991).
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About

Hi there!
I am Esy Andriyani
This is my personal blog. I endeavor to assemble miscellaneous notions and observations as a mere human being. Well, feel free! Serve yourself...

Let's Stay in Touch

Featured Post

Perpetual Rain

Labels

  • Awesome Tips (2)
  • Blog Insight (15)
  • Book Review (5)
  • Digital Media & Social Construction (13)
  • Freebies (1)
  • Miscellaneous (5)
  • Soliloquy (7)

Bloom Beautifully

Popular Posts

  • Al Baqarah 152-157
  • Tidak Akan Pernah Kenyang dari Al Qur'an
  • Watermelon, Carrot, Parsley Juice
  • Book Review: Hilyah Thalibil 'Ilmi (Perhiasan Penuntut Ilmu)
  • Hanya Sebab

Free Quran Wallpapers

Awesome Sites

  • Kisah Muslim
    Mengenal Kakek dan Buyut Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam - Kaisar Romawi, Heraclius, pernah bertanya kepada Abu Sufyan tentang nasab Nabi Muhammad, كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ قُلْتُ هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ‏.‏ ... Sele...
    1 month ago
  • Muslim.Or.Id
    Hukum Menjual Obat yang Dicurigai akan Digunakan untuk Kejelekan - Fatwa Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah Pertanyaan: Jazakumullaahu khairan. Seorang apoteker mengirimkan sejumlah pertanyaan, di anta...
    8 hours ago
  • Muslimah.Or.Id
    Sekedar Tercapainya Keinginan, Tidak Berarti Perbuatannya Benar - Kaidah yang berharga yang kami dengar langsung dari Syaikh Abdurrazzaq Al Abbad hafizhahullah: وجود الآثار لا يدل على صحة العمل “Adanya hasil dari suatu ...
    16 hours ago
  • Qur'anic Reflections
    A Fulfilment - الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات By the grace and favour of Allāh upon me, I’ve successfully completed my Master’s Degree in ʿUlūm al-Qurʾān and Tafsīr. M...
    3 months ago
  • Radio Rodja
    Menghilangkan Rasa Takut Yang Berlebihan Pada Anak - Menghilangkan Rasa Takut Yang Berlebihan Pada Anak merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Mence...
    1 hour ago
  • Rumaysho
    Suami Harus Sabar Menghadapi Istri - Rumaysho.Com - Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Bukan hanya istri yang mesti sabar menghadapi suami, suami pun mesti sabar menghadapi istri karena bisa ...
    3 hours ago

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2020 (14)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (3)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  December (1)
    • ►  May (4)
    • ▼  April (5)
      • Media Power and Misrepresentation of Islam
      • Self Disclosure: Mediatized Rituals
      • Privasi dan Praktik Media Kita
      • Buzzer: Pergeseran Tatanan Politis Indonesia
      • Kolektivitas tanpa Komunitisasi dan Kolektivitas I...
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (9)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (6)
    • ►  December (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2016 (5)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)

Contact Form

Name

Email *

Message *

Created with by ThemeXpose