Pages

  • Home
  • About
  • Blog Insight
  • Awesome Tips
  • Soliloquy
  • Book Review
  • Freebies

Dancing Rain in the Autumn

Ilustrasi media dalam praktik kehidupan kita sehari-hari. Seorang mahasiswi sedang memasukan password dan username pada akun Instagramnya.
Bagaimanapun kehidupan kita dewasa ini terlalu sulit untuk lolos dari eksistensi media. Couldry (2012) menuliskan bahwa betapapun fakirnya kehidupan kita, media tetap hadir secara simultan bahkan pada poros terkecil praktik-praktik kehidupan kita sehari-hari hingga mengekstensi konstelasi perpolitikan negeri.

Namun, kita perlu menyadari bahwa media sebagai sebuah institusi mustahil untuk bersikap adil pada apa yang mereka representasikan. Kekuatan simbolik yang media miliki pada faktanya hanya mampu berpihak pada sebagian kelompok, entah mereka pemilik modal media, aktor-aktor politik, atau bahkan persona-persona tertentu. Keadaan ini pada gilirannya menyebabkan praktik-praktik media cenderung timpang.

Couldry (2012) menuliskan terdapat empat bentuk ketimpangan media (media injustice). Ketimpangan media yang pertama terjadi ketika orang tertentu dirugikan oleh media dan tidak memiliki cara untuk menanggulanginya. Ketimpangan ini pada dasarnya dapat kita serupakan sebagaimana seseorang dapat melakukan kerusakan moral antara satu sama lain dengan ucapan mereka (O’Neill, 2002). 

Selanjutnya, ketimpangan jenis kedua yang media lakukan ialah ketimpangan dalam hal rekognisi (Honneth, 2007). Media dalam hal ini tidak memberikan rekognisi yang adil pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya bagaimana televisi nasional kita tidak memiliki porsi yang adil terhadap keberagaman adat dan budaya di negeri ini. Televisi Indonesia tak ubahnya televisi "rasa" Jakarta. Padahal menurut Couldry (2012) media sepatutnya menyediakan ruang agar kelompok-kelompok tertentu agar dapat mengaktuaisasikan diri mereka.

Ketimpangan ketiga muncul ketika seorang individu atau kelompok tertentu secara tidak langusng terhalang untuk menyuarakan gagasan mereka sebab keterbatasan mereka terhadap akses kapital simbolik media. Kapital simbolik media pada dasarnya memang tersedia secara terbatas dan tidak setara. Namun ketidaksetaraan bukan berarti langsung mengkonotasikan ketimpangan. Ketimpangan terjadi manakala ketidaksetaraan memenggal kemampuan individu atau kelompok tertentu.

Sementara itu, ketimpangan keempat yang media lakukan ialah manakala ruang wacana publik  potensial terisolasi sehingga bukan hanya invidu tertentu melainkan individu, kelompok, dan gerakan manapun terhalang dari rekognisi. Ketimpangan jenis ini pada gilirannya akan bermuara pada pertanyaan yang lebih luas terkait politik.

Pada unggahan ini sendiri awesome writer melokuskan perhatian pada jenis ketimpangan pertama. Kasus Kopi Sianida dalam hal ini menjadi menarik untuk diangkat sebagai contoh sebagaimana beberapa tahun lalu kasus ini begitu riuh akibat sorotan media.

Wayan Mirna dan kopi bersinida
Sari (2016) menuliskan kaleidoskop kasus ini di mana perjalanan kasus bermula ketika empat orang yang berteman sejak kuliah di Billy Blue College, Australia, berencana untuk bertemu di Indonesia. Mereka adalah Mirna, Jessica, Hani Boon Juwita, dan Vera. Pertemuan berlangsung pada 6 Januari 2016 lalu di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.

Jessica telah lebih dahulu tiba di kafe, menunggu teman-temannya di meja nomor 54 lantas memesan minuman. Kala itu, Jessica memesankan es kopi vietnam untuk Mirna. Mirna yang beberapa saat kemudian muncul menenggak kopi tersebut. Namun, tak lama kemudian Mirna justru kejang lalu tak sadarkan diri. Dia diduga meninggal karena keracunan.

Jessica dan Mirna
Singkat cerita, Jessica akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini segera menyita perhatian masyarakat Indoensia. Berbagai media baik media konvensional maupun media digital ramai menyoroti kasus Kopi Sianida ini. Persidangan yang diadakan selama berjam-jam disiarkan secara nasional. Pakar-pakar dihadirkan untuk mengomentari jalannya sidang. Pakar telematika dan psikologi berkali-kali mampir menghiasi layar kaca. Media secara umum punya nada pemberitaan yang serupa yang menyiratkan bahwa Jessica memang bisa jadi dalang dibalik tewasnya Mirna.

Hal yang perlu kita kaji adalah bagaimana media dapat mempengaruhi jalannya persidangan (trial by the press). Sebagaimana media memiliki kekuatan simbolik, maka kekuatan simbolik tersebut rentan menimbulkan konstruksi persepsi yang keliru di benak kita. Media seakan mendorong kita untuk punya pendirian yang sama dengan apa yang media agendakan. Apa yang media anggap benar mendesak kita untuk berpikir dan bertindak yang sama. Padahal, kita bisa jadi butuh wacana alternatif agar mampu memahami kasus dengan lebih menyeluruh.

Kasus Kopi Sianida memang penuh misteri terbukti dari rekaman CCTV yang memang secara eksplisit tidak memperlihatkan Jessica menaruh racun pada kopi Mirna (Pratiwi, 2018). Namun demikian, dalam penelitian Siregar (2017) ditemukan 56 pemberitaan media online yang menghakimi Jessica sebagai pembunuh Mirna. Bahkan, pemberitaan tersebut menyimpulkan alasan dan motif yang dilakukakan Jessica. Siregar (2017) menyimpulkan bahwa trial by the press dalam kasus Kopi Sianida ini terjadi karena: (1) pers Libertarian,  (2) faktor politik dalam berita, (3) kepentingan ekonomi, (4) mengutamakan dan minim verifikasi, (5) partisipasi masyarakat rendah, dan (6) minimnya kualitas wartawan. Media dalam kasus ini akhirnya menciderai Jessica sebagaimana seseorang dapat melukai orang lain dengan lisan mereka, bahkan lebih dari itu. 

Jessica muncul dalam pemberitaan media.
Bercermin pada ketimpangan ini, maka Couldry (2012) membawa kita pada sebuah diskusi menarik tentang etika. Diskusi ini sekaligus menjadi penawaran normatif dari Couldry (2012). Berujung pada etika, Couldry (2012) ingin agar kita menilik kembali bagiamana media sebagai praktik; ritual; bahkan sebagai hidden injuries (luka tersembunyi) dalam kehidupan kita sehari-hari mempengaruhi kita dalam mengkonstruksi dunia sosial kita. Oleh karena itu, pada bab terakhir bukunya, Couldry (2012) ingin agar kita merenungi 'bagaimana sepatutnya kita hidup dengan bajik bersama media dan bagaimana sesungguhnya peran media dalam kehidupan kolektif kita?' 

Couldry (2012) lantas menawarkan bahwa kebajikan dalam hidup berdampingan dengan media dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni accuracy, sincerity dan care (akurasi, ketulusan, dan perhatian). Akurasi pada substansinya ialah tentang melakukan apa yang diperlukan demi mencapai kebenaran dalam pernyataan tertentu. Ketulusan merupakan kecenderungan untuk mengatakan apa yang sebenarnya kita yakini. Sedangkan, perhatian berhubungan dengan konektivitas kita yang hari ini telah berskala global. Perhatian pada esensinya adalah bagaiamana berbagai hal yang kita sematkan dalam jaringan (network) misalnya teks atau pun gambar tidak membahayakan atau menciderai orang lain.

"Teknologi membentuk ulang lansekap kehidupan emosional kita, tetapi apakah teknologi menawarkan kita kehidupan yang ingin kita tuju?" (Sherry Turkle)



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Majalah Dabiq salah satu media propaganda ISIS.

Awesome readers, bagaimana kalian memahami dunia sosial kalian? Lalu, bagaimana pengalaman kalian dalam bermedia? Apa saja yang selama ini kalian lakukan di media? Media apa sajakah yang kalian gunakan sebagai ekstensi dari banyak kebutuhan kalian? 

Kalian bingung untuk menjawab semua pertanyaan atau sebagaian dari pertanyaan di atas? Well, well, awesome readers tidak perlu panik... 

Couldry dalam salah satu bab di bukunya Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice berupaya menawarkan sebuah konsep agar kita bisa memahami pengalaman kita dengan media. Ia menuliskan tentang konsep media culture (budaya media). Couldry (2012) menuliskan bahwa konsep tersebut mengilustrasikan pemahaman kita akan dunia sosial merupakan sukumpulan praktik yang kita lakukan dengan sumber utama yang berasal dari media.

Couldry (2012) lantas menjabarkan media culture dapat  kita telaah melalui berbagai kebutuhan manusia yang membentuk cara kita berinteraksi dengan dan bertindak atas dunia. Kebutuhan manusia memiliki kekutaan besar sehingga ia mampu memandu perbandingan (Susan Buck-Morss dalam Couldry, 2012) dan Couldry (2012) menilai melalui kebutuhan manusia dirinya mampu memetakan media culture dengan lebih gamblang.

Couldry (2012) menyebutkan bahwa media culture dapat dipetakan dari beberapa kebutuhan manusia, di antaranya ialah kebutuhan ekonomi, kebutuhan etnis, kebutuhan politik, kebutuhan pengakuan (terkait dengan kebutuhan etnis dan politik namun berbeda), kebutuhan kepercayaan atau keyakinan, kebutuhan sosial, dan kebutuhan rekreasi. 

'Kebutuhan' dalam hal ini menurut Couldry (2012) harus dipahami dalam arti luas. Artinya, kebutuhan tak sekadar dipahami pada koridor psikologis namun kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu spektrum yang terbuka dan luas di mana kebutuhan ini tertanam dalam budaya (Sen, 1992; 1999 dalam Couldry, 2012).

Sementara itu, dalam unggahan ini awesome writer tentu tidak akan membahas seluruh aspek kebutuhan manusia tersebut. Awesome writer akan mencoba menukil satu kebutuhan lantas mengelaborasinay semampu awesome writer.

Dari berbagai aspek kebutuhan manusia dalam memahami media culture yang Couldry (2012) tawarkan, awesome writer tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang kebutuhan politik. Couldry (2012) berujar bahwa mungkin aneh untuk memperbincangkan kebutuhan politik dalam membentuk budaya media. Ia melanjutkan bahwa toh kita tidak menonton televisi bukan karena pemerintah melarang kita untuk melakukannya. Namun demikian, politik terutama struktur dan strategi telah mempengaruhi bagaimana budaya media terbentu. Couldry (2012) menambahkan bahwa sayangnya perihal ini banyak diabaikan oleh peneliti media.

Couldry (2012) menyatakan bahwa kebutuhan politik dalam membentuk media culture dapat kita tilik dari tiga hal, yakni: (1) strategi negara atau aktor politik yang lebih digdaya untuk tujuan membangun kuasa mereka, (2) kebutuhan untuk menjangkau masyarakat yang sangat luas, dan (3) kebutuhan untuk meng-counter kemapanan yang telah ada, misalnya gearakan anti-globalisasi, anti-kapitalisme, dan yang semisal.

Berbicara tentang kebutuhan politik dan budaya media, hal menarik selanjutnya yang ingin awesome writer kaji ialah pertautan antara kebituhan politik, budaya media, dan terorisme serta secara tidak langsung akan berhubungan dengan Islam. Dalam hal ini, awesome writer akan mengambil contoh kasus ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

CNN (2019) menuliskan bahwa ISIS merupakan grup sempalan dari Al Qaeda. Pada awalnya, ISIS dibentuk dengan bertujuan untuk menciptakan negara Islam yang disebut kekhalifahan di seluruh Irak, Suriah dan sekitarnya. ISIS dikenal secara luas karena mereka tak segan membunuh lusinan orang sekaligus dan melakukan eksekusi di depan umum, penyaliban, dan tindakan lainnya. Popularitas ISIS tentu tidak datang begitu saja. Mereka tak canggung dalam memanfaatkan teknologi modern seperti media sosial. Kemampuan memanfaatkan teknologi tersbeut pada gilirannya menjadi kontributor besar dalam mendiseminasi propaganda mereka. 

Sementara itu, Nuruzzaman (2018) melaporkan bahwa ISIS merupakan metamorfosis dari Al Qaeda. ISIS mendeklarasikan organisasinya sebagai sebuah daulah pada 19 April 2007. Mereka mengumumkan terbentuknya pemerintahan dengan dipimpin Abu Umar Al-Baghdadi yang beranggotakan 10 orang kabinet. Pada April 2013, Abu Bakar Al-Baghdadi mendeklarasikan perluasan ISI menjadi Islamic State of Iraq and Levant/Daulah Islamiyah Fi al-Iraq wa Sham (ISIL). Levant adalah nama lain dari Syam, gabungan Suriah dan Lebanon serta Palestina.

Dalam tulisan Nuruzzaman (2018), di Indoensia sendiri ISIS dideklarasikan pada 16 Maret 2014 di Bundaran Indonesia, Jakarta oleh beberapa orang yang tergabung dengan beberapa organisasi. Ia selanjutnya menulis bahwa sebagian besar pendukung ISIS di Indonesia memiliki 5 prinsip dasar dalam keyakinan agama mereka, yakni: jihad fi sabilillah, takfir, al wala' wal bara', tauhid, dah hakimiyah. Lima prinsip yang Nuruzzaman (2018) sebutkan ini menggelitik  awesome writer untuk membahas lebih lanjut, tapi mungkin belum mampu dituliskan dalam unggahan ini secara lengkap.

Sari (2015) dan Armandhanu (2015) menulsikan bahwa ISIS pada dasarnya banyak menyebarkan propagandanya melalaui majalah. Majalah mereka berujudul Dabiq. Sejak Juli 2014 hingga 2015, sudah 7 edisi Dabiq diterbitkan.

ISIS kemungkinan mencontoh Al-Qaidah yang juga menerbitkan majalah propaganda bernama Inspire. Pada salah satu edisinya, Inspire pernah memuat cara membuat bom dari alat-alat sederhana yang ada di dapur (Armandhanu, 2015).

Pengamat terorisme Indonesia Al Chaidar dalam (Armandhanu, 2015) menilai, selain sebagai propaganda dan ekstensi rekrutmen, majalah Dabiq juga menjadi alat untuk menyerang kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka, memurtadkan dan mengkafirkan sesama Muslim yang menentang kekerasan ISIS. Majalah ini bahkan juga telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia dan dipublikasi oleh beberapa situs jihad.

Fenomena ISIS ini pada kontinum lain mungkin dapat kita kaitkan pula pada kebutuhan keyakinan.  Namun dmeikian, apa yang ISIS lakukan jauh dari basis kebutuhan kepercayaan karena awesome writer menilai apa yang coba mereka perjuangankan tidak pernah diajarkan keyakinan manapun apalagi Islam.

Jika kita kembali pada tiga hal yang berkaitan dengan kebutuhan politik dalam membentuk budaya media serta ISIS, maka ISIS telah memasukan seluruh tiga unsur yang Couldry (2012) paparkan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tangkapan layar media social awesome writer.

Perkembangan industri dan teknologi komunikasi telah memungkinkan kita untuk melakuan beragam hal. Awesome readers membutuhkan berita? Kalian bisa menjentikkan jari dan menaikan dan menurunkan layar plastik bercahaya awesome readers untuk mendapatkannya. Berita tersebut bahkan dapat kita peroleh dengan harga yang sangat murah sekali jika dibandingkan dengan surat kabar fisik yang dijual oleh para penjaja koran.

Internet juga mengubah cara kita dalam mengakses informasi. Ketika dulu kita terdorong untuk datang ke perpustakaan, membuka-buka indeks pada katalog-katalog buku yang tersedia, lalu menelusuri setiap rak buku di perpustakaan tersebut, hari ini semua proses ini telah berubah. Kita lebih suka untuk berkunjung ke situs tertentu entah itu legal ataupun ilegal, lantas kita cukup mengarahkan kursor menuju hyperlink yang akan membuat dokumen di balik tautan tersbeut masuk dalam penyimpanan ponsel atau komputer personal kita.

Pada substansinya, internet telah mengubah hampir seluruh poros dalam kehidupan kita. Selain internet, kita tentu tak asing dengan media sosial. Media sosial menjadi entitas tersendiri bagi masyarakat hari ini terutama bagi mereka para digital native. Kita tak jarang juga menemukan media sosial telah mempengaruhi kehidupan kita sehingga membuat kita sulit untuk lepas dari entitas tersebut. Maka, tak heran jika akhirnya keadaan ini mendorong orang-orang bangkit dan melawan hegemoni media dengan melakukan diet media sosial atau detoks media digital.

Menurut Harisson (2018) masalah sosial kecanduan internet ini memang tak terelakkan, tapi bukan mustahil dipecahkan. Gerakan-gerakan kecil namun dapat berdampak cukup siginifikan telah banyak dilakukan oleh orang-orang. Sebagai contoh zona bebas ponsel ketika makan, menonaktifkan telepon genggam selama beberapa waktu, atau bahkan membeli ponsel "bodoh" agar tak memperoleh akses media sosial. Semakin banyak orang-orang sadar bahwa ponsel pintar mereka telah menyandra mereka sehingga tanpa sadar bukan mereka (pengguna) yang menjadi semakin cerdas, tetapi ponsel itu sendiri.

Fenomena di atas menurut awesome writer mengilustrasikan bagaimana media memiliki kuasa (Gramsci dalam Long dan Wall, 2013) untuk mempengaruhi hidup kita (Boudieu dalam Durham dan Kellner, 2006), terutama mereka orang-orang di baliknya yang telah menanamkan kapital besar. Pada poin ini, awesome writer ingin menegaskan bahwa media sesuangguhnya dapat membentuk kapital (Couldry, 2012) sebagaimana pihak otoriter pada konsep tradisonal negara mampu mengakumulasi kapital.

Media sosial, entah Facebook, Instagram, YouTube,  atau apapun itu yang semisal telah memanfaatkan penggunaanya sebagai suatu bentuk kapital. Kapital-kapital yang mereka akumulasi ini pada gilirannya dapat mereka gunakan terutama untuk mengukuhkan kerajaan bisnis yang telah mereka miliki saat ini. Secara matematis, coba saja kita baca berbagai artikel yang menampilkan kekayaan Mark Zukcerberg sebagai salah satu indikator bagaimana kapital yang mereka akumulasi melalui Facebook telah menyebabkannya mendulang banyak Dollar.

Tristan Harris (2016), seorang mantan Etika Desainer Google, mengibaratkan bagaimana media sosial telah menyihir lantas menjadi candu bagi kita dengan membawa konsep seorang pesulap. Pesulap memulai dengan mencari titik buta, tepi, kerentanan, dan batasan persepsi orang, sehingga mereka dapat memengaruhi apa yang dilakukan orang tanpa mereka sadari. Setelah Anda tahu cara menekan tombol pada diri orang lain, Anda dapat memainkannya seperti piano.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kompilasi tangkapan layar dari situs berita online CNN Indonesia dan Kompas terkait berita "viral".
Awesome readers, apabila istilah viral dahulunya lebih erat dengan praktik-praktik di dunia kesehatan, maka hari ini kata viral dapat digunakan dalam konteks yang sangat luas. Dewasa ini istilah viral menjadi kata yang terlalu populer dalam praktik kita bermedia. Secara lebih spesifik, istilah viral di Indonesia sendiri kerap kali digunakan dalam konteks politik dalam media online. 

Jati (2018) menuliskan bahwa viral yang semula merupakan ekspresi untuk tujuan diseminasi informasi dan peristiwa tertentu oleh warganet Indonesia kini berkembang sebagai aparatus politik. Hal ini dapat kita saksikan dari serangkaian bentuk video singkat, foto, maupun informasi yang secara masif digunakan untuk tujuan mobilisasi politis. 

Kata viral pada gilirannya dapat menyumbang efek amplifikasi yang lebih luas bagi para buzzer-buzzer politik. Dengan demikian, perpaduan "renyah" antara istilah viral dan kelihaian jentikan jari para buzzer dapat membuahkan hasil politis yang sangat menggirukan bagi para aktor politik di era internet ini.

Viral menjadi ilustrasi bagaimana media digital telah mentrasformasi kehidupan sosial dan politik kita. Couldry dalam bukunya Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practice menuliskan bahwa ketika kita berbicara tentang poltik dan bagaiaman media digital mengubah tatanan kehidupan politik kita, maka kita perlu kembali menilik definisi klasik politik yang Easton ungkapkan. 

David Easton mengungkapkan bahwa politik dipandang sebagai alokasi barang, jasa, dan nilai yang otoritatif. Walaupun definisi ini menurut Couldry meruapkan definisi yang sempit, definisi Easton ini dapat kita gunakan sebagai titik awal mendiskusikan politik dan kaitannya dengan media digital. Definisi tersebut lantas mengerucutkan diskusi kita pada pandangan politik sebagai alokasi otoritatif. Artinya, politik memungkinkan aktor-aktor yang etrlibatdi dalamnya memiliki kewenangan atau kekuasaan.

Bercermin pada definisi tersebut, Couldry (2012) lantas mengajak kita untuk merenungi pendapat Sosiolog asal Prancis, Boltanski dan Thévenot yang menegaskan bahwa masyarakat tidak lagi dipersatukan oleh asosiasi nilai-nilai umum sosiologi (Boltanski dan Thévenot, 2006). Oleh karena itu, setiap politik transformatif bergantung pada perubahan sebagian atau seluruh rezim yang terjadi secara aktual dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Dimensi kunci ketiga yang membentuk prasyarat politik dewasa ini ialah framing: konstruksi 'dunia' yang berpotensi diubah dalam politik (Boltanski, 2009 dalam Couldry, 2012).

Awesome readers, kita kembali pada istilah viral. Menurut Jati (2018) istilah di-viral-kan menjadi kata populer yang digunakan individu atau kelompok tertentu yang bertujuan untuk membuat linimasa media sosial menjadi ramai dengan topik tertentu. Viral, sebagai istilah populer, pada satu kontinum telah bergerak menjadi instrumen politik yang mampu menggoyang tatanan politik. Bahkan, istilah ini bisa jadi mentransformasi tatanan politik itu sendiri. Viral cenderung dikonotasikan negatif dalam poltik. Walaupun demikian, istilah ini dapat pula dinarasikan menajdi sesuatu yang positif misalnya foto viral milik Roby Sanjaya sebagai kritik terkait jalan rusak.

Jalan rusak di bawah skywalk sekitaran Matraman, Jakarta Pusat.

Viral memberikan pelajaran bagi kita bagaimana wewenang politis tidak melulu hanya dikuasai oleh pihak otoriter (pemerintah). Media digital memungkinkan demokratisasi wewenang, walaupun menurut awesome writer wewenang tersebut sifatnya semu bila tidak dilakukan secara berjaringan (networked). Bagaimanapun viralnya suatu topik yang kita ajukan, pihak otoriter punya kuasa yang lebih besar dibandingkan dengan kita. Mereka punya beragam instrumen untuk segera membungkam apa yang kita viralkan, kecuali apa yang diviralkan tadi kita lakukan secara berjaringan sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About

Hi there!
I am Esy Andriyani
This is my personal blog. I endeavor to assemble miscellaneous notions and observations as a mere human being. Well, feel free! Serve yourself...

Featured Post

5 Tips Awesome Sebelum Membeli Buku

Labels

  • Awesome Tips (2)
  • Blog Insight (15)
  • Book Review (6)
  • Digital Media & Social Construction (13)
  • Freebies (2)
  • Miscellaneous (6)
  • Soliloquy (7)

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2021 (3)
    • ►  September (2)
    • ►  January (1)
  • ►  2020 (14)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (3)
    • ►  June (5)
    • ►  May (3)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  December (1)
    • ▼  May (4)
      • Media Injustice (Ketimpangan Media)
      • Media Culture for Political Needs and Terrorism
      • Kapital dan Candu Media Sosial
      • Viral dan Network Society
    • ►  April (5)
    • ►  March (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2018 (9)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
    • ►  February (3)
    • ►  January (3)
  • ►  2017 (6)
    • ►  December (1)
    • ►  March (1)
    • ►  February (4)
  • ►  2016 (5)
    • ►  December (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (1)

Bloom Beautifully

Popular Posts

  • Al Baqarah 152-157
  • Tidak Akan Pernah Kenyang dari Al Qur'an
  • Watermelon, Carrot, Parsley Juice
  • About
  • Alhamdulillah: Me vs Supir Taksi

Free Quran Wallpapers

Awesome Sites

  • Kisah Muslim
    Abul Hakam Rafi’ bin Sinan Radhiallahu ‘Anhu dan Bayinya - Abul Hakam Rafi’ bin Sinan adalah salah seorang sahabat Anshar yang berasal dari kabilah Aus. Ia termasuk salah seorang sahabat ... SelengkapnyaAbul Hakam...
    3 months ago
  • Muslim.Or.Id
    Hukum Puasa Syawal di Hari Jumat Saja - Sebagaimana kita ketahui, terdapat hadits yang melarang kita mengkhususkan puasa sunah di hari Jumat. Bagaimana jika seseorang puasa sunah di bulan Syawa...
    9 hours ago
  • Muslimah.Or.Id
    Alasan Pelaku Maksiat: Saya Belum Dapat Hidayah! - Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin Soal: Seorang pelaku maksiat, ketika diajak kepada kebenaran ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah belum menak...
    1 day ago
  • Qur'anic Reflections
    A Fulfilment - الحمدلله الذي بنعمته تتم الصالحات By the grace and favour of Allāh upon me, I’ve successfully completed my Master’s Degree in ʿUlūm al-Qurʾān and Tafsīr....
    1 year ago
  • Radio Rodja
    Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat - Khutbah Jumat: Tidak Boleh Memberikan Mudharat ini merupakan rekaman khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. di Masjid Al-B...
    2 days ago
  • Rumaysho
    Bolehkah Puasa Syawal, Tetapi Masih Memiliki Utang Puasa Ramadhan Karena Haidh? - Rumaysho.Com - Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Ini masalah yang sering ditanyakan, apakah boleh puasa Syawal sedangkan masih memiliki utang puasa Ramad...
    1 week ago

Total Pageviews

Awesome Readers

Contact Form

Name

Email *

Message *

Created with by ThemeXpose